Rabu, 26 Januari 2011

TOMBO PALUA, AHLINYA “CALONG”


Tombo Palua namanya. Ia pandai menyanyikan lagu Mandar bergenre “tipalayo” dan “piondo”, yaitu lagu mendayu-dayu yang didendangkan seseorang yang merindukan kekasihnya atau saat menidurkan bayi. Tombo Palua (ada yang menulis Padzua atau Padhua) seorang seniman unik di Mandar. Bila berdasar kartu keluarga, dia lahir pada 1 Juli 1937. Dia meragukan persis lahir pada tanggal itu, tapi memang lahir di akhir tahun 30-an. Buktinya, ketika tentara Jepang hadir di Indonesia, dia sudah remaja.

Tombo Palua selalu mengenakan passappu. Ini adalah penutup kepala yang jamak digunakan kaum lelaki di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di masa lalu. Saat ini hanya satu dua yang masih mengenakannya di Mandar. Jika ke Kajang, Bulukumba, kebiasaan mengenakan passappu ini masih terlihat di kalangan lelaki dewasanya.

Dalam seni tradisi Mandar, Tombo Palua bisa dikategorikan ahli. Selain menyanyi lagu-lagu kuno Mandar, juga lincah menari “denggoq”, memainkan alat musik “calong”, meniup “paluppung”, dan melucu bila beraksi di panggung. Itulah kekhasan Tombo atau akrab disapa “Kamaq Kardi” (nama anak pertamanya Kardi).

Tombo penari “denggoq” paling tua di Mandar. Tarian denggo’ amat bersahaja, tidak ada pakaian khusus bila akan menarikannya. Satu-satunya alat yang biasa dibawa pa’denggo’ yang juga merupakan salah satu sumber musik dalam menarikannya adalah dua pasang sendok makan (dulu menggunakan sendok porselen dari Cina). Sendok makan tersebut dimain-mainkan di kedua tangan sambil tubuh bergerak menari-nari. “Denggoq” bisa dimainkan di atas panggung atau di lapangan, khususnya ketika ada acara “saeyyang pattuqdu” (kuda penari).
Tampak benar karakter Tombo Palua ketika menari. Selain tubuh bergerak dinamis, matanya juga ikut menari-nari mirip penari Bali. Tapi mata Tombo Palua laksana mata lelaki yang menggoda sang gadis. Hal tersebut menjadikan tariannya selalu diselingi tawa penonton. Belum lagi bila Tombo Palua meniru-niru gerakan orang pincang. Tombo punya banyak saudara. Paling tidak dia memiliki 10 saudara dari isteri kedua bapaknya.
Dia sendiri semata wayang dari isteri pertama bapaknya. Bapaknya bernama Palua dan ibunya bernama Kamuq. Tombo Palua menikah pada zaman pemberontakan DI/TII  yang di Mandar dikenal dengan istilah “gorilla” di daerah pengungsian (pedalaman Mandar). Dari pernikahannya dengan Bacci’, Tombo Palua memiliki 7 anak, tiga di antaranya sudah meninggal dunia.
Pada tahun 1980-an, sebagaimana kebanyakan laki-laki Mandar, Tombo Palua pergi merantau ke Kalimantan Timur, yaitu di daerah Biduk-biduk. Selama lima tahun dia bekerja sebagai penggergaji kayu. Kemudian dia balik ke Mandar untuk berkebun coklat di daerah pedalaman. Lalu pada tahun 2006, dua seniman muda Mandar, Sahabuddin dan Dalif sewaktu masih kuliah di Universitas Negeri Makassar, menyadari peran penting Tombo Palua dalam khazanah kesenian tradisi Mandar. Maka Tombo Palua pun diajak turun gunung. Dia diminta mengajarkan teknik permainan dan sejarah “calong”, baik kepada mereka berdua maupun anak-anak sekolah dasar.
Disadari atau tidak, maraknya penggunaan alat musik “calong” dewasa ini, baik sebagai mata pelajaran kesenian di SD hingga permainan “calong” secara kolosal di PORDA I Sulawesi Barat beberapa tahun lalu tak lepas dari pewarisan ilmu Tombo. Muasal calong Sahabuddin Mahganna, etnomusikolog Mandar, pernah melakukan penelitian tentang alat musik “calong”, alat musik yang amat dikuasi Tombo Palua dan Tombo adalah informan penting dalam riset tersebut.
Menurut Ka’dara, dalam hasil penelitian Sahabuddin, “calong” itu “Tappa calong tomo tia disangangangi” (Memang langsung dinamakan “calong”) dan mengapa berbilah empat sebab “Keempat bilahan itu adalah simbol “Appeq Banua Kayyang”) (jumlah “banua” yang membentuk Arajang Balanipa, yaitu Mosso, Napo, Samasundu dan Todang-todang).
Adapun menurut Tombo menguraikan bahwa “calong” adalah simbol kebangsaan orang Balanipa, sebab melihat dari bentuk dan bagian instrumennya yakni pada bilahan dan ruang resonansinya. Dia juga tidak mengetahui orang pertama memberi nama itu. Tombo menambahkan, “Tillong-tillong tangnga wongi” (suara mendayudayu di tengah malam).
Bila menganggap “calong” identik dengan alat musik calung di Sunda, yang merupakan varian dari angklung agak kurang tepat. Angklung dimainkan dengan cara menggoyangnya sedang “calong” dipukul-pukul. Alat pemukul, berupa dua kayu kecil dipukulkan pada ruas-ruas bilah bambu yang tersusun menurut tangga nada pentatonik (da-mi-na-ti-la).
Informan Sahabuddin yang lain, yakni Sakai menguraikan, bahwa “calong” hadir bertepatan dengan adanya praktek petani atau pekebun Mandar yang mengisi waktu senggang di kala menjaga kebunnya.
Pendapat agak ilmiah dikemukakan pemain “calong” yang juga pengerajin tali di Lambe, Karama, yaitu Abdullah atau Kamaq Salding. Menurut orangtuanya, cikal bakal “calong” tidaklah menggunakan buah kelapa sebagai landasan bilah bambu atau ruang resonansi, tetapi di paha si pemain. Saat di rasa paha tidak maksimal, kaku dan  sakit dalam waktu lama, maka digunakanlah buah kelapa. Pendapat yang samadikemukakan oleh budayawan Nurdin Hamma.
Bila memang cikal bakal “calong” adalah hanya bilahan bambu yang diletakkan di antara kedua paha, itu mirip dengan alat musik yang di Bugis disebut “gandonggandong” sedang di Mandar istilahnya “gandi-ganding”.
Dan mengapa hanya empat bilah? Menurut saya, yang juga dituliskan Sahabuddin dalam hasil risetnya, bahwa irisan tempurung kelapa (yang akan menjadi ruang resonansi) hanya bisa menampung empat bilah (nada). Mungkin lain ceritanya bila ukuran kelapa di Mandar lebih besar dua kali lipat dengan yang sekarang; mungkin bilahnya lima atau enam.
Kesimpulannya, menurut Sahabuddin, alat musik “calong” adalah hasil pengembangan “gandi-ganding” yang diperkirakan sebelum abad ke-15. Sedangkan pengembangannya menjadi “calong” diperkirakan di awal peradaban Arajang Balanipa (abad ke-15). Disebut “calong”, mungkin berasal dari dua kata “caq” dan “long”. “Caq” itu bunyi yang dikeluarkan saat pemukul mengenai bilah dan “long” berasal dari kata “tillotillong” (suara mendayu-dayu) atau unsur bunyi alat musik yang menghantar getaran tabuh inti instrumen itu sendiri. Sedangkan “calong” secara terminologi adalah sebuah alat musik tradisional Mandar yang termasuk jenis musik idiofon. Berfungsi menciptakan suasana riang serta memberi isyarat terhadap sesama, baik itu di kebun maupun di lingkungan masyarakat.
Alat musik lain yang dikuasai Tombo adalah “palluppung” atau “keke” berukuran besar. Dalam bahasa Bugis disebut “panoni” atau “katinting”. Alat tiup ini semacam klarinet yang biasa dibuat pada musim panen dari batang padi yang dibuatkan lidahlidah getar dan dilengkapi corong dari daun kelapa. Alat musik ini juga jamak digunakan para petani dan penggembala kerbau di Mandar.

Hidup bersahaja
Saat ini Tombo Palua dan isterinya tidak berkebun lagi karena sudah tua. Mereka berdua bersama seorang anaknya kembali tinggal di Oting, dusun kecil berjarak 2 km dari jalan trans-Sulawesi (sekitar 285 km dari Makassar). Aktivitas kesehariannya membuat gerabah, mulai “pallu” (tungku), “balenga litaq” (panci berbahan tanah), hingga “panjjepang” (semacam piring dari tanah untuk digunakan membakar ampas ubi kayu yang akan dibuat makanan “jepa”).
Rumah Tombo Palua amat bersahaja. Ruang tamunya khas rumah kampung: satu set ranjang, di dinding tertempel beberapa foto artis bekas kalender, foto(kopian) ukuran kecil gambar Arung Palakka bersama wali, dan beberapa kalender tua, dan poster kampanye beberapa politikus.
Juga ada lemari yang berisi beberapa alat musik tradisional Mandar, foto-foto pementasannya, dan sepasang sepatu kulit. Di depan pintu masuk rumahnya terdapat
tiga set alat musik calong yang tampak ramai dengan hiasan benang warna-warni dan selembar bendara merah putih yang tampak jamuran.
Di tengah kesederhanaan rumahnya, itu tak membuat para pemerhati seni enggan datang berkunjung, baik bersilaturrahmi maupun untuk menuntu ilmu. Murid-murid Tombo yang saat ini telah mengabdi sebagai guru, misalnya Ishaq di SMA 2 Majene dan Sahabuddin di SMA 1 Tinambung, sering membawa datang siswa-siswanya untuk belajar langsung teknik dan sejarah musik “calong” dan keterampilan membuat alat rumah tangga dari tanah liat ke Tombo Palua. Tombo pun dengan senang hati menerima dan mewariskan ilmunya.
Tombo tidak hanya mengajarkan ilmu ke “timba yang mencari sumur”, tapi juga murid-murid yang dia rekrut langsung, yaitu anak-anak kecil di sekitar rumahnya, yang masih terhitung cucunya. Perangkat hadat dan artis Tak banyak yang tahu, di tengah sosok sederhananya, ternyata Tombo juga seorang perangkat adat Kerajaan Balanipa. Pada pelantikan Arajang Balanipa ke-54, Tombo termasuk orangtua yang menentukan protokoler acara. Dalam hadat, dia digelari “Tomabubeng Limboro”. Menurut Sjarbin Sjam (Bunga Rampai Kebudayaan Mandar dari Balanipa, 1997), Pepuangan dan Tomabubeng Limboro anggota Hadat Balanipa atau pemimpin “banua” yang tidak termasuk “Appeq Banua Kaeyyang” (Napo, Mosso, Samasundu, dan Todang-todang).
Intinya, peran Tombo Palua amat penting dalam beberapa prosesi budaya Kerajaan Balanipa dan sebagai tempat bertanya aturan-aturan tradisional untuk beberapa upacara. Sayangnya, saat ini, proses yang berdasar pola kepemimpinan tradisional tidak berjalan lagi, sehingga peran-perang perangkat hadat cenderung seremonial saja.
Di tengah posisinya sebagai seniman senior, penting, dan termasuk perangkat hadat Kerajaan Balanipa, tidak serta merta Tombo memiliki sikap egois. Sebaliknya, dia sangat membumi dan bergaul layaknya sahabat dengan seniman-seniman muda yang
bisa dianggap cucunya. Tombo hampir tak pernah menolak bila diundang memainkan keterampilannya, baik menari, menyanyi, hingga bermain musik.
Bukan hanya itu, bermain film pun Tombo Palua sudah pernah. Salah satu film yang diproduksi Komunitas Indie Tia berjudul 45!!! menjadikan Tombo Palua sebagai tokoh utama. Tombo diajak bermain sebab dia memang bisa akting, berbeda dengan seniman-seniman tua lainnya di Mandar.
Sebagai pemain musik dan penyanyi pun Tombo terlibat dalam pembuatan film dokumenter. Beberapa film fiksi dokumenter yang diproduksi Studio Teluk Mandarmenggunakan musik Tombo, baik nyanyian “tipalayo-nya”, tiupan “palluppung-nya” (45!!!, Tammejarra) maupun lagi penidur bayi (“Kanneq Sando”). Lalu pada tahun
2008, rumah produksi film dokumenter untuk acara film dokumenter di stasiun TV NHK, Jepang, pernah datang ke Mandar untuk merekam nyanyian “tipalayo” oleh Tombo dengan iringan permainan “kacaping” Ka’musa.

Penghargaan
Sebagai pekerja senin yang intens dijalani selama puluhan tahun, amat layak seorang Tombo Palua dihargai oleh pihak lain, baik pemerintah, pemerhati budaya, maupun generasi pelanjutnya. Pada Festival Seni Tradisional Sulawesi Selatan di Makassar pada 29-31 Desember 200 yang terlaksana atas kerjasaman Disbudpar Sulsel, Badan Kerjasama Kesenian Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan dengan Meditatif Audiovisual Documentation, Tombo Palua menerima penghargaan sebagai pemain alat musik tradisional “calong”. Waktu itu, Tombo direkomendasikan oleh Komunitas Seni Tradisi Assamalewuang Mandar yang digawangi Sahabuddin dan Dalip.
Kemudian pada September 2009, Tombo bersama seniman tradisi yang lain (Cammana, Marayama, Satuni, Ka’adara, dan Madan) kembali menerima penghargaan dari Forum Sipakaraya, yaitu Anugerah Sipakaraya. Anugerah tersebut didedikasikan untuk para individu atau organisasi yang terbukti mengabdikan dirinya pada bidang-bidang tertentu, mulai dari dunia seni, pendidikan, teknologi, dan lingkungan hidup. Adapun Forum Sipakaraya adalah organisasi yang menghimpun beberapa lembaga kesenian di Tinambung dan sekitarnya yang peduli pada sikap saling menghargai dan bekerja sama dalam pengembangan dan pelestarian dunia senibudaya Mandar.
Kehidupan dan keterampilan sosok seperti Tombo Palua adalah harta tak bernilai. Ironisnya, Tombo Palua dan seniman yang menggeluti alat-alat seni tradisional, banyak yang terpinggirkan. Mereka hanya dijadikan sebagai penghibur, misalnya penyambutan pejabat. Ya, mereka adalah penghibur, tapi sejatinya mereka menjadi bagian mata rantai dari tradisi berkesenian yang berawal ratusan tahun lalu.
Bukan hanya itu, pengetahuan yang mereka miliki bisa menjadi salah satu sumber inspirasai dalam mempelajari persilangan budaya di nusantara. Seorang Tombo Palua
memang bukan hanya milik orang Mandar

*)  Dikuti dari Tulisan  Ridwan AlimuddinMuhammad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Komentar