Kamis, 20 Januari 2011

HIKAYAT TO SALAMA DI BINUANG


To Salama di Binuang atau Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah seorang Waliyullah yang pernah hidup di tanah Mandar pada abad XV seperti wali-wali Allah di wilayah lain, Beliau juga menyiarkan agama Islam di wilayah Binuang yang pada waktu itu diperintahkan oleh Raja IV Sipajollangi.
        Kisah tentang perjuangan serta kekeramatan To Salama di Binuang terus berlanjut hingga turun temurun dan tampaknya menjadi legenda tersendiri di kalangan masyarakat yang bermukim di Pulau Tangnga, tempat beliau dan kedua muridnya dimakamkan.

        Catatan sejarah yang termaktub dalam naskah lontara Napo Mandar pada halaman 123 menyebutkan “Iamodi’e pa’anna na sura’ituan di Benuange lamo mepasallang…”. Maksud dari naskah itu, “ inilah surat Tuan di Binuang. Beliaulah yang mengislamkan kami…”.
        Hikayat tentang Waliyullah Kharismatik ini kemudian dibukukan oleh tokoh sejarah Mandar, Drs.M.T.Azis Syah pada tahun 1994.
KEAJAIBAN ORANG BERJUBAH HITAM
        Konon di suatu kampung yang bernama Penanian (Bate Tangnga), ketika itu menjelang tengah malam Jumat, Tomakaka Penanian sedang duduk seorang diri di rumah-rumah kebunnya untuk menjaga isi kebunnya dari serangan babi hutan.
        Dari arah langit tiba-tiba turun cahaya tegak lurus yang sangat terang. Saking terangnya, orang Mirring dan takatidung menyangka istana Raja Sipajollangi terbakar. Tomakaka Penanian yang melihat dengan dekat cahaya itu langsung merasakan pusing dan akhirnya jatuh pingsan.
        Disaat Tomakaka Penanian siuman, ia tidak melihat lagi cahaya yang membuatnya pusing itu, akan tetapi dihadapannya telah berdiri  berjubah hitam dan bersurban hijau. Orang itu kemudian berkata; hai Tomakaka, Kasihanilah saya. Kiranya engkau mau menerima saya untuk menumpang di rumahmu. Saya bersedia membantu mengerjakan kebunmu, bahkan ke lautpun mencari ikan saya mau.
        Mendengar ucapan itu, Tomakaka Penanian berkata, “ saya akan sangat senang jika engkau mau tinggal di rumahku. Tetapi sebelumnya, saya ingin mengetahui engkau ini siapa, dan berasal dari mana.”
        Orang berjubah itu menjawab, “ pertanyaan Tomakaka itu sulit saya jawab, sebab saya sendiri tidak tahu. Yang saya tahu, saya telah berada di kebun ini, siapa aku ini, tidak usah dulu kau ketahui.”
        Mengetahui jawaban orang berjubah hitam itu, Tomakaka tidak melanjutkan lagi pertanyaannya. Setelah itu, Tomakaka Penanian dan orang berjubah hitam itu tinggal serumah.
        Semenjak orang berjubah hitam itu tinggal di rumah Tomakaka, terjadi keajaiban kepada kehidupan Tomakaka. Kebun yang digarap orang berjubah hitam itu dalam waktu singkat menghasilkan isi yang melimpah ruah hingga kebunnya bertambah luas.
        Disamping itu, Tomakaka dan orang-orang dikampungnya sering menyaksikan hal-hal yang menakjubkan dari orang berjubah hitam itu, antara lain pada waktu hujan lebat, orang berjubah hitam itu bolak balik dari rumah ke kebun, tetapi tidak sedikitpun pakaiannya yang basah.
        Tomakaka dan warganya juga sering melihat orang berjubah hitam itu duduk bersimpuh, bertafakkur serta bertasbih di atas daun dari pohon pisang yang masih tumbuh. Setelah berdoa, ia lalu turun dari atas pohon pisang tersebut.
        Yang aneh lagi, Tomakaka bersama beliau ke laut untuk menangkap ikan. Beliau akan berjalan di atas air dan kakinya sedikitpun tidak basah. Ikan-ikan tiba-tiba saja menjadi jinak dan bernanung di bawah kakinya. Beliau tinggal memilih mana yang diambilnya.
RAJA SIPAJOLLANGI PANGGIL ORANG BERJUBAH
        Keajaiban lain yang dimiliki oleh orang berjubah hitam yang tidak lain adalah Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah jika beliau sedang tidur, tubuhnya tidak merapat di atas tikar, melinkan satu jengkal di atasnya, seperti terapung di udara.
        Jika Syekh Abdurrahim Kamaluddin hendak ke pulau  sekitar Binuang, ia hanya memanjatkan doa kepada Allah. Setelah itu, karena kekuasaan Allah, pulau yang hendak dituju oleh beliau itu mendekat sehingga dengan sekali melangkah, beluai sudah berada di seberang.
        Ha-hal luar biasa yang terjadi pada Syekh Abdurrahim kamaluddin ini kemudian menjadi bahan pembicaraan orang banyak, hingga cerita tersebut terdengar oleh Raja Sipajollangi, akan tetapi waktu itu, Raja Sipajollangi hanya mengacuhkan cerita tersebut. Akan tetapi Pendududk yang bertempat tinggal di sekitar Penanian dan Mirring, (Ulu Bate) semakin sering menceritakan kisah-kisah tersebut. Raja Sipajollangi akhirnya dibuat penasaran. Raja Sipajollangi merasa curiga terhadap tamu Tomakaka itu. Raja menyangka bahwa orang berjubah hitam tersebut adalah seorang penyihir. Ia pun kemudian memanggil untuk menguji kebolehan Syekh Abdurrahim Kamaluddin.
        Tomakaka Penanian beserta Syekh Abdurrahim Kamaluddin tiba di Istana. Raja Sipajollangi lalu memerintahkan kedua putrinya untuk maju ke depan. Seorang diantara putri raja itu sudah bersuami dan tengah hamil dua bulan, sehingga perutnya belum kelihatan sedang mengandung. Sedang yang satunya masih perawan duduk di sebelah kanan kakaknya.
        Raja Sipajollangi kemudian meminta Syekh Abdurrahim Kamaluddin untuk menebak siapa putri yang mengandung. Karena kekeramatannya, beliau sudah mengetahui bahwa Raja hendak mengujinya. Bahkan ia sudah tahu bahwa putri yang duduk disebelah kirilah yang sedang mengandung.
        Syekh Abdurrahim Kamaluddin lalu berdoa kepada Allah agar putri yang masih perawan itu hamil. Setelah berdoa, beliau lalu menunjuk bahwa putri yang sedang hamil duduk di sebelah kanan.
        Raja yang merasa yakin bahwa putri yang ditunjuk Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah putrinya yang masih perawan akhirnya menjadi murka. Syekh Abdurrahim kamaluddin mengetahui raja Sipajollangi marah kepadanya. Beliau kemudian segera memohon diri. Sewaktu beliau melangkah turun dari tangga Istana. Raja Sipajollangi menyaksikan kaki beliau tidak menyentuh anak tangga melainkan satu jengkal di atasnya.
NEGERI BINUANG DITIMPA MUSIBAH
        Beberapa hari setelah pertemuan Syekh Abdurrahim Kamaluddin dan raja di istana. Syekh Abdurrahim Kamaluddin memohon diri kepada Tomakaka Penanian, beliau akan menuju ke negeri Tammajarra ( wilayah Tinambung) untuk menemui Raja Balanipa IV, Daetta Kenna I Pattang.
        Sesampainya di negeri Tammajarra, beliau lalu mengutarakan maksud kedatangannya kepada Raja Balanipa, yaitu menyebarkan agama Islam kepada Raja Balanipa. Raja Balanipa menerima dengan baik maksud kedatangan Syekh Abdurrahim Kamaluddin ini. Beliau lalu diizinkan tinggal di Istana. Syekh Abdurrahim Kamaluddin kemudian memulai dakwahnya.
        Sementara itu, sejak kepergian Syekh Abdurrahim Kamaluddin dari negeri Binuang. Negeri tersebut tiba-tiba saja ditimpa berbagai macam musibah. Mulai dari wabah penyakit yang mematikan tumbuhan hingga penduduk Binuang, rakyat menjadi sengsara, mulai pagi sampai sore, pasti ada saja penduduk yang meninggal. Yang datang mengubur, sebentar gilirannya pula dikubur. Putri raja yang tadinya perawan karena Kekuasaan Allah menjadi benar-benar hamil. Putri raja ini sering mengalami tanda kehamilan yang tidak wajar dan selalu mengigau menyebut-nyebut nama tamu Tomakaka Penanian. Putri Raja itu betul-betul sangat tersiksa.
        Melihat keadaan ini. Raja Sipajollangi Kebingungan. Semua dukun, Pelalai, Pajuntai yang piawai sudah dipanggil untuk mengobati sang putri. Tetapi tak satupun yang berhasil. Seorang ahli nujum kemudian menyarankan kepada Raja Sipajollangi untuk mencari seseorang yang pernah tinggal dirumah Tomakaka Penanian.
        “Menurut ramalan saya, satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan putri raja dan menyelamatkan rakyat kita disini adalah orang yang pernah tinggal di rumah Tomakaka Penanian” ujar ahli nujum.
        Tomakaka Penanian akhirnya diminta untuk memberi  tahu keberadaan Syekh Abdurrahim Kamaluddin. Tomakaka kemudian memberi tahu bahwa tamunya itu sedang berada di Tammajarra.
        Raja Sipajollangi lalu mengutus orang untuk mencari Syekh Abdurrahim kamaluddin dan berkata “jika kalian telah bertemu dengan beliau, sampaikan kepadanya bahwa Raja telah menjanjikan Putri beliau I We Tenri Pada, kalau sekiranya ia dapat menyembuhkan penyakitnya.
        Utusan raja lalu berangkat ke negeri Tammajarra. Setelah menempuh perjalanan selama enam hari tujuh malam, akhirnya utusan Raja yang dipimpin oleh Lamakarra bertemu dengan Syekh Abdurrahim Kamaluddin.
PUTRI DAN RAKYAT BINUANG DISEMBUHKAN
        Syekh Abdurrahim Kamaluddin kemudian bertanya “ada keperluan apa kalian datang kemari”, Lamakarra yang menjadi pimpinan rombongan menjawab “kami diutus Raja Binuang, Beliau meminta pertolongan tuan. Kalau penyakit putrinya sembuh, Tuan akan dinikahkan dengan putri itu.”
        Syekh Abdurrahim kamaluddin diam sejenak, lalu beliau berkata “Agama Islam mengajarkan untuk menghormati tamu apalagi yang datang dari jauh, aku tidak akan sampai hati mengecewakan kalian serta Raja Binuang, katakan pada Raja, aku akan kesana untuk melakukan apa yang bisa kulakukan, berangkatlah kalian kesana.”  
        Mendengar perkataan tersebut, Lamakarra menjadi puas. Dia beserta rombogannua segera meninggalkan Syekh Abdurrahim Kamaluddin dan kembali ke Negeri Binuang. Mereka harus kembali menempuh perjalanan selama enam hari tujuh malam.
        Alangkah terkejutnya Lamakarra ketika sampai di Soraja (Istana) Binuang, sebab suasana di Soraja begitu meriah, padahal sejak ia dan rombongannya meninggalkan tempat itu dua minggu yang lalu, tempat tersebut hanya diselimuti oleh kesedihan dan kemuraman.
        Setelah dia selidiki, ternyata Raja Sipajollangi tengah merayakan ketujuh hari pesta pernikahan putrinya dengan Syekh Abdurrahim Kamaluddin.
        Lamakarra tak percaya dengan kenyataan ini sebab enam hari yang lalu ia masih melihat Syekh Abdurrahim Kamaluddin di tammajarra. Di segera menghadap kepada Raja Sipajollangi.
        Raja Sipajollangi berkata “kemana saja kau Lamakarra”. Lamakarra menjawab “hamba baru saja tiba dari negeri Tammajarra.” Raja bertanya lagi “berapa lama waktu yang kau butuhkan  untuk sampai di Tammajarra” Lamakarra menjawab “enam hari tujuh malam tuan”.
        Raja Sipajollangi berkata “sungguh aneh, pada hari pertama kau berangkat ke Tammajarra orang berjubah itu sudah sampai disini, bahkan ia telah menyembuhkan putriku dan sesuai janjiku ia lalu kunikahkan dengan I We Tenri Pada”.
        Lamakarra semakin tidak percaya, ia kemudian mengajak beberapa pengawala untuk menemui mempelai pria. Dia khawatir jangan-jangan ada orang asing yang mengaku sebagai Syekh Abdurrahim Kamaluddin. Setelah bertemu dengan mempelai pria barulah Lamakarra merasa yakin bahwa mempelai pria itu benar-benar Syekh Abdurrahim Kamaluddin.

MELIHAT KA’BAH DARI MASJID BINUANG
        Kurang lebih setahun kemudian, dua orang Muballigh datang kepada Tuan di Binuang, mereka bermaksud menjadi murid tuan di Binuang dan bersedia membantu menyiarkan Agama Islam.
        Muballigh pertama bernama Syech Al Magribi, seorang sufi dan ahli kenegaraan yang berasal dari Maroko. Yang kedua bernama Syech Al Ma’ruf dia juga seorang sufi dan ahli dalam masalah pertanian dan bangunan. Dia berasal dari wilayah Samarkhan dekat Bukhara, Rusia Selatan.
        Makin hari, makin terkenal pula kedua Muballigh tersebut karena selain ketepatan metode dakwahnya, juga kekeramatan yang mereka miliki, maka dari itu dalam kurun waktu singkat mereka sudah berhasil merangkul banyak pengikut.
        Dengan demikian nama Tuan di Binuang pun kian tersohor di berbagai kalangan, kedua muridnya itu menggelar beliau “Waliyullah”. Negeri Binuang akhirnya popular sebagai pusat pengembangan Agama Islam di Tanah Mandar.
        Seperti gelar To salama di Binuang yang diberi oleh rakyat Binuang kepada Syekh Abdurrahim kamaluddin, kedua murid To Salama di Binuang juga memperoleh gelar karena kekeramatannya yang dimiliki. Syech Al Ma’ruf dikenal dengan gelaran Saiyye Losa dan Syech Al Magribi dikenal dengan Saiyye Kitta.
        Gelar Saiyye Losa yang diberikan kepada Syech Al Ma’ruf bermula ketika Raja Binuang dan Tuan Binuang merencanakan untuk membangun Masjid Pertama di kerajaan Binuang. Pada waktu itu, struktur rancangan bangunnya diserahkan kepada syaech al Ma’ruf yang memang ahli di bidang tersebut.
        Setelah masjid itu selesai dibangun, sekelompok jemaah masjid meragukan arah kiblat masjid tersebut. Hal ini kemudian mereka adukan kepada Syech Al Ma’ruf. Syech Al Ma’ruf terdiam sejenak. Ia kemudian berjalan menuju tembok bagian barat masjid dan melubanginya setelah melubangi tembok ini ia lalu memanggil para jemaah dan meminta mereka untuk mengintip ke lubang yang baru beliau buat.
        Syech Al Ma’ruf bertanya “apa yang kalian lihat disana” secara serentak para jemaah menjawab “Ka’bah..!!!!!”. sejak saat itulah rakyat Binuang semakin segan kepada beliau. Itulh sebabnya Syech Al Ma’ruf diberi gelar saiyye Losa yang berarti Orang Yang Bisa Menembus apapun dengan penglihatannya.
ASAL MULA ‘BUJUNG MANURUNG’
        Ketenaran To Salama di Binuang khususnya kekeramatan Beliau akhirnya sampai ke telinga seorang ahli sihir yang juga kepala rampok (Paeloa’) di Tammangalle. Ia berniat ke negeri Binuang untuk menjajal kesaktian Tuan di Binuang.
        Ahli sihir ini kemudian berlayar ke negeri binuang . ketika sampai ditengah lautan, tiba-tiba cuaca  yang tadinya  normal berubah menjadi ekstrim. Badai serta gelombang laut silih berganti dan menghantam apapun yang berada di lautan saat itu, termasuk perahu yang digunakan ahli sihir.
        Akhirnya perahu tersebut karam, begitujuga dengan kitab-kitab yang berisi ilmu gaib yang sekiranya akan menjadi andalan ahli sihir untuk menjajal kesaktian Tuan di Binuang. Ahli sihir itu sendiri pingsan akibat pukulan ombak yang sangat dahsyat.
        Setelah beberapa saat, ahli sihir pun siuman, ia sadar telah berada di tepi pantai Takatidung. Ahli sihir itu kebingungan dan berjalan tak tentu arah. Tiba-tiba ia melihat lelaki setengah baya menggunakan  jubah putih sedang berjalan di tepi pantai.
        Ahli sihir kemudian mengahampirinya. Dia lalu bertanya, “hai orang berjubah!,apa nama daerah ini, “ Lelaki berjubah tidak menjawab, ia malah menancapkan tongkatnya di depan ahli sihir itu.
        Lelaki berjubah kemudian menjawab,” Nama daerah ini adalah Binuang,apa yang tuan cari di tempat ini, “. Ahli sihir menjawab, “Saya hendak mencari Tuan di Binuang, “. Lelaki berjubah bertanya lagi, “ada keperluan apa tuan mencarinya, Saya adalah murid beliau, nama Al –Magriby, “.ahli sihir berkata” sebenarnya aku hendak menantang. Adu ilmu gaib. Tapi sayang, kitab-kitab saya yng berisi ilmu gaib telah tenggelam ke dasar laut.”
        Lelaki berjubah ternyata adalah Syech Al-Magriby kemudian mencabut tongkatnya. bersamaan dengan itu,dari lubang bekas tancapan tongkat Syech Al-Magriby itu tiba-tiba memancar air jernih dengan derasnya. Ahli sihir ini terkejut bukan main,sebab air tersebut membawa kitab-kitabnya yang telah hanyut didasar laut.
        Ahli sihir itu akhirnya merenung. ia berpikir, kalau muridnya saja sudah sesakti ini, tentu gurunya lebih sakti lagi. Ahli sihir akhirnya mengurungkan niatnya ke Binuang untuk menantang tuan di Binuang. Ahli sihir itu lalu bersimpuh di hadapan Syech Al-Magriby. Dia lalu meminta Syech Al-Magriby untuk menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
        Bekas lubang yang diakibatkan oleh tancapan tongkat syech Al-magribi lama-kelamaan menjadi sumur. Masyarakat setempat lalu menamainya dengan ‘Bujung Manurung’ atau sumur yang diciptakan seorang yang memiliki karamah.
AGAMA ISLAM MENYEBAR DI TANAH MANDAR
        Kekeramatan yang dimiliki oleh kedua murid Tuan di Binuang ini membuat rakyat Binuang semakin takjub serta segan kepada mereka. Kedua murid plus muballigh ini membuat Tuan di Binuang mengajarkan agama Islam di sekitar Kerajaan Binuang. Sementara Tuan Binuang sendiri melanjutkan risalah Islam di Negeri Balanipa dan sekitarnya.
        Secara formal, pengembangan Islam di tanah Mandar dimulai dari negeri Binuang pada awal abad 17 dengan dua macam pengembangan. Pertama, Syekh Abdurrahman Kamaluddin atau To Salama di Binuang menyiarkan agama Islam di Binuang kemudian menyebarkan ke daerah sekitarnya seperti Allu, Palili serta sebagian besar Banggae.
        Sekitar tahun itu pula, Beliau mendirikan Pesantren dan Masjid sebagai Pusat Pendidikan Agama Islam di sebuah Pulau yang disebut Tangnga-Tangnga. Ketika itu, beliau mengumpulkan sebanyak 40 pemuda dari kalangan muridnya untuk dididik khusus.
        Menurut Sejarah, Raja Balanipa yang pertama kali memeluk Islam adalah daetta Kanna I Pattang atau biasa disebut dengan Daetta Tommuane.
        Dengan masuknya daetta I Kanna Pattang, maka serentak seluruh rakyat Balanipa juga ikut menyatakan ke-Islaman mereka.
        Kedua, agama Islam datang dari Kalimantan dan menuju ke Sendana dan Pamboang. Risalah Islam ketika itu dibawa oleh ‘Ikapuang Jawa’ yang kemudian dikenal dengan nama Raden Mas Arya Suriodilogo, lalu muncul Sayyid Zakariah Al Magriby membantu dan sama menyiarkan Islam di negeri Pamboang.
        Raja Pamboang atau Maraqdia Pamboang yang pertama memeluk agama Islam adalah Tomatindo di bo’di. Sedangkan di negeri Banggae, Maraqdia Tondo atau Tomatindo di Masigi merupakan Raja pertama kali menganut Islam. Penyebarnya yaitu Syekh Abdul Mannan yang di gelar ‘Tuan di Salabose’.
Di pitu Ulunna salu, penganjur Islam bernama Tuan di Bulo-Bulo. Indo Kadanene yang pertama kali masuk Islam ialah Todilamung Sallan. Ke-Islaman Indi Kadanene ini kemudian diikuti oleh Indo Lembang, Tomakaka Mambi serta Maraqdia matangnga. Sedangkan di Campalagian atau Tomadio, penganjurnya Tomatindo di Dara’na sendiri, penyebarnya bernama tuan di tanase.
WAFATNYA TUAN DI BINUANG
Setelah kurang lebih 40 tahun menyebarkan agama Islam di Balanipa dan Binuang, Tuan di Binuang akhirnya memutuskan untuk beristirahat di Negeri istrinya di Binuang. Akan tetapi keinginannya untuk menyebarkan agama Islam tidak terputus begitu saja, sebab jika ada daerah yang menbutuhkannya, beliau akan selalu siap membantu. Setelah 5 yahun beristirahat di Binuang tepatnya di Pananian, akhirnya beliau pun dipanggil menghadap ke hadirat Ilahi.
Konon, sewaktu keranda Jenazah beliau hendak diusung menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir, orang-orang yang akan mengusung keranda Jenazah tersebut tidak dapat mengangkatnya, jangankan terangkat goyangpun tidak.
Orang-orangpun menjadi bingung, tak tahu mesti berbuat apa agar keranda jenazah beliau bias diangkat. Tiba-tiba seseorang diantara mereka berkata, “saya baru ingat, kalau beliau pernah berwasiat, dan wasiat itu harus disampaikan ke khalayak umum. Wasiatnya seprti ini, ‘jika besok atau lusa saya tutp usia, tempatkan saya di salah satu pulau di Binuang ini,’.
Setelah mengucapkan wasiat tersebut, keranda jenazah beliau dengan sendirinya berjalan ke tepi pantai. Setelah sampai di tepi pantai, keranda itu kemudian meluncur menuju ke sebuah pulau yang dikenal sebagai ‘Pulo Karamasang’. Akan tetapi keranda Jenazah beliau tersangkut di sela-sela cabang pohon Bakau.
Rombongan pengantar Jenazah yang sedari tadi ‘mengejar’ keranda jenazah beliau ini kemudian berusaha mengeluarkan dari jebakan cabang pohon bakau, namun seperti kejadian semula, keranda jenazah beliau kembali tidak bisa digoyang walau sekuat apapun tenaga mereka. Karena hari menjelang malam. Rombongan terpaksa pulang ke kampung masing-masing.
Beberapa hari kemudian mulai tersebar berita mengenai beberapa keanehan Pulau Karamasang. Perahu yang dipakai nelayan atau para pedagang yang melewati Pulau Karamasang ini seakan-akan hanya berputar-putar. Malah dari mereka ada yang hanya melihat daratan di sekelilingnya.
Kurang lebih setahun sejak wafatnya Tuan di Binuang, masyarakat setempat sudah tidak pernah lagi melihat keranda jenazah beliau. Ada yang menduga bahwa mungkin peti itu terjatuh akibat terpaan angin dan terbawa oleh arus laut.
Menurut keterangan Imam Pulau Tangnga, Yusuf Tikadang, bahwa dari cerita rakyat secara turun temurun, ketika itu arus kotoran dari Binuang selalu menuju ke Pulau Karamasang dan menyentuh pohon bakau tempat dimana keranda jenazah tuan binuang pernah tersangkut.
Kemudian setelah itu seorang pencari kayu bakar menemukan sebuah keranda jenazah yang diyakini sebagai keranda jenazah tuan di binuang di atas bukit kecil. Pernah juga ada salah satu warga yang bermimpi, bahwa keranda jenazah yang ditemukan oleh pencari kayu itu merupakan pindahan dari pohon bakau di Pulo Karamasang. Dengan demikian masyarakat Binuang semakin mempercayai cerita ini.
Konon beberapa bulan kemudian, keranda jenazah tersebut menghilang dari Pulo Karamasang, akan tetapi pada saat bersamaan muncul sebuah batu nisan yang diyakini sebagai nisan Tuan di Binuang.
Sampai saat ini, nisan yang telah menjadi makam tersebut masih dipelihara baik oleh masyarakat yang bermukim di Pulo Tangnga-Tangnga bahkan pengunjungnya atau peziarahnya selalu ramai setiap saat.
Demikianlah akhir dari hikayat To Salama di Binuang, kisah tentang seorang ulama besar kharismatik pada zamannya ini akan selalu abadi di dalam sanubari masyarakat Mandar.
Wallahu A’lam Bis shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Komentar