Minggu, 23 Januari 2011

Marayama, “Pakkacaping Tobaine” Terakhir


Marayama seorang maestro permainan musik “kacaping”. Saat ini, bila melihat posturnya, mungkin tak terbayangkan beliau seorang pemain kecapi dan penyanyi lihai. Tubuhnya renta, bungkuk, kulit berkeriput, khas orangtua. Tampak lemah. Tapi bila dia menggendong kecapi untuk kemudian memetik dawainya sambil bernyanyi, ada energi besar yang memancar. Ya, itu ciri khas para maestro. Seperti

almarhum Ma’ Coppong, tubuhnya sangat lemah, tapi ketika menari, dia bagai sosok seorang gadis muda.

Saat ini, Marayama tinggal di tengah “hutan” kebun coklat dan pohon kelapa, di kaki Bukit Timbu-timbu. Bila tak tanya-tanya, untuk menemukan rumahnya agak susah. Menuju rumahnya, bila dari Tinambung naik kendaraan bermotor melewati Desa Galung Lombok, Desa Renggeang, kemudian Desa Tandassura (sekitar 10km dari jalan trans Sulawesi di Desa Tandung). Antara mesjid dengan SD Tandassura, ada jalan setapak bercabang ke tengah ‘rimba’ kebun. Jalan berkelok-kelok, melalui satu-dua rumah panggung. Sekitar 300m dari jalan poros Tandassura atau 1km dari Sungai Mandar, rumah kayu sederhana Marayama terdapat.

Di sekitar rumahnya terdapat rumah kerabatnya, termasuk saudara perempuannya , Satuni. Rumah Marayama amat bersahaja. Hampir semuanya kayu, berbahan bambu,
kecuali dinding depan rumah berbahan seng. Pun tak ada listrik dirumahnya. Jadi bila malam hari menggunakan lampu minyak sebagai penerang. Marayama tidak tahu persis kapan dia lahir. Tapi dia sudah kanak-kanak saat penjajahan Jepang. Jadi saya perkirakan dia lahir pada tahun 30-an, era pakkacaping legendari, I Pasoq. Jadi kira-kira umurnya saat ini sekitar 80 tahun. Keluarga Marayama mempunyai beberapa saudara, semuanya bisa bermain kecaping. Mereka adalah I Yasi (perempuan), Lemba (laki-laki), Marayama, Satuni, Sapa (laki-laki, tahu main kecaping tapi tidak menjalani sebagai pekerjaan).

Dari sekian bersaudara, kakak tertua (I Yasi) yang paling ahli main kecaping. Walau kedua orangtua  Marayama bisa bermain kecaping, tapi I Yasi-lah yang mengajari adik-adiknya bermain kecaping. Bapak Marayama bernama I Jalaq (dari Kambaqjawa, Samasundu), ibunya bernama Maliaya (Galung, Majene). Sebab pergi berkebun, makanya pindah ke tempat sekarang. Sebelumnya tinggal di Renggeang, tempat Marayama lahir. Kedua orangtua Marayama juga tidak menjadikan kecaping sebagai jalan hidup. Beda
dengan kakek Marayama. Dia seorang “paqgeso”, alat musik kuno khas Sulawesi Selatan dan Barat. Alat musik ini seperti biola, digesek-gesek. Biasa dimainkan di acara-acara sunatan, pernikahan. Saat ini alat musik tersebut telah punah.
Kakek Marayama bernama I Roa, orangtuanya (buyut Marayama) berasal dari Lombok dan Salabose (Majene). Selain seorang “paqgeso”, juga pembuat kecapi. Jadi waktu Marayama kecil, telah ada benda-benda yang menjadi teman hidupnya sampai tua. Selain dari orangtua dan kakaknya, Marayama juga mendapat pengaruh bermain “kacaping” dari kerabat yang masih terhitung pamannya, yakni Sumaati. Juga dari I Cicci, saudara ibunya. I Cicci ini punya kelebihan bermain kecaping siapapun teman duetnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Di masa-masa tuanya, I Cicci hidup bersama Marayama. Ketika I Cicci kena stroke (lumpuh separuh) saat buang air di kebun, Marayama (yang sudah tua waktu itu) pergi menolongnya. Selain mewarisi ilmu “makkacaping”, kepada Marayama, I Cicci juga mewarisi sebuah kecaping kuno yang saat ini tergantung di ruang tengah (dapur) Marayama. Suami pertama bernama Ba’durramang, anak buah Bandru (pimpinan “gorilla” yang sangat terkenal). Ba’durramang tewas di Kayumate, Mamuju. Awalnya Marayama ikut suaminya ke Mamuju, tapi dia balik ke Majene. Beberapa lama kemudian ada kabar suaminya tewas oleh pasukan Bugis, pimpinan Salla Kalluq, kena malam Ahad. Kemudian Marayama kawin lagi dengan Ba’as tapi cerai sebab si Ba’as suka kawin cerai. Baik Ba’durramang maupun Ba’as orang Tandassura. Waktu bersama Ba’durramang, Marayama tinggal di Puppengaq. Dari pernikahannya, Marayama tidak memiliki keturunan. Itulah musabab dia disappa “Kanneq Manang” (manang = tamanang, mandul). Mungkin generasi sekarang itu seperti ejekan, tapi sebenarnya hal yang umum. Malah ada raja di Mandar yang namanya berdasar pada kekurangan dirinya, misalnya Tokape dan Andi Depu (kata “depu” berasal dari kata “arepus” yang berarti jelek). Era sebelum tahun 90-an, apalagi waktu itu beberapa tempat di Mandar masih sangat terpencil, pergi bermain “kacaping” adalah tantangan tersendiri. Untuk itu, setiap pergi, apalagi di saat Marayama masih seorang gadis, biasa diantar bapaknya. Untuk bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya biasa pergi berhari-hari, berminggu-minggu. Dulu belum marak kendaraan bermotor, jadi mereka lebih sering pergi dengan berjalan kaki apalagi bila ke pedalaman Mandar, misalnya Ratte Kallang, Tu’bi dan lain-lain. Dulu, perjalanan dan permainan mereka dihargai dengan ringgit, sekarang dengan rupiah dan sesekali tambahan hasil kebun.
Sebagai Jalan Hidup Dalam bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya sering diserang ilmu hitam.

Pernah suatu waktu saat bermain di Tu’bi, saat bermain, Marayama merasakan dirinya dililit ular besar. Dia berkata kepada Satuni bahwa dirinya sedang dililit ular, tapi Satuni tak melihat ada ular ditubuh kakaknya. Lain waktu, sering ada beterbangan cahaya mirip bara tempurung di sekitar mereka. “Kacaping” biasa tiba-tiba menghilang tapi bunyi terdengar. Tikar bermain “kacaping” pun sering dijadikan media untuk menyerang mereka kala bermain “kacaping”. Tikar langsung tergulung dan bantal (yang biasa digunakan untuk menyanggah paha saat bermain) tiba-tiba seperti benda hidup, antar bantal bertarung satu sama lain. Secara fisik pun sering diserang. Tubuh sampai sakit dan mencret-mencret bila pulang ke rumah. Tapi Marayama dan Satuni bangga, walau sering diserang, untuk sampai menyerah atau stop bermain gara-gara ilmu hitam, belum pernah. Ya, walau diserbu terus, mereka tetap memetik dawai-dawai “kacaping”-nya, mirip salah satu adegan di film Kungfu Hustle. Selain disebabkan ilmu hitam, hal lain yang sering mengancam jiwa Marayama dan Satuni bila pergi bermain “kacaping” adalah perkelahian antar penonton. Hal umum di Mandar, pada tahun-tahun sebelum 80-an, setiap acara keramaian biasanya ada perkelahian yang berakhir pada aksi baku tikam. Pemali “Dilarang keras melangkahi”, ungkap Marayama tentang pemali pada “kecaping”. Bukan hanya itu, “kacaping” juga memiliki “kekuatan” yang bisa membuat orang kualat atau celaka. Bila sesorang membuat sebuah nazar (janji), misalnya, kalau saya memiliki kerbau saya akan mengundang “pakkacaping”. Bila nazar itu tak dipenuhi, dia akan sakit. Dalam waktu yang bersamaan, kecapi di rumah Marayama akan “tegang dawainya, sering berbunyi”. Itu adalah tanda ada yang belum memenuhi nazarnya, ada yang sakit. Sebagai obatnya, mengundang “pakkacaping” main. Juga, bila ada pemain kecapi lewat di depan rumah sambil membawa kecapi-nya, lalu ada yang menyapa “Singgah-lah” lalu dibalas si pemain kecapi “Tidak usah”, maka yang menyapa/mengundang akan sakit. Agar terhindar dari sakit atau sembuh, harus
mengundang “pakkacaping”.

Untuk itulah tidak usah menyapa “pakkacaping” yang sedang lewat. Tapi kalau mereka tidak bawa  kecapi-nya, tidak apa-apa. Juga tidak apa-apa bila si pemain kecapi itu memang betul singgah.
Penghargaan Pada tahun 40-an, Marayama dan I Tage pernah mendapat penghargaan Peniti Perak dari pemerintah Distrik Tenggelang (Puang Tenggelang Hamma) pada tahun 40-an di Kampung Lambe Lotong, Desa Sumarrang (Kecamatan Campalagian saat ini). Lebih lima dekade kemudian, Marayama [bersama Cammana (pemain rebana), Tombo Palua (penari, pemain calong, penyanyi), Ka’dara (pemain kecaping, peniup keke, pemain calong), dan Ma’dang (guru silat)] mendapat penghargaan Anugerah
Sipakaraya dari Forum Sipakaraya di Tinambung (September 2009).
Selain menyebut pemerintah sebagai pihak yang selalu mengundang mereka bermain “kacaping”, di luar undangan oleh masyarakat umum, Marayama juga biasa ke Makassar atas undangan Arajang, yakni Andi Depu. Memang Andi Depu sebagai Arajang Balanipa pernah lama di Makassar, sebagai bagian dari strategi perjuangan melawan Belanda. Tak ada regenerasi “Sekarang tak ada yang mau belajar “kacaping””, ungkap Marayama saat ditanya regenerasi pemain “kacaping”. Dibanding Cammana dalam permainan rebana, regenerasi pemain “kacaping” sangat jauh tertinggal. Itu disebabkan banyak hal.
Pertama adalah minat generasi muda, khususnya perempuan, untuk menjadi pemain “kacaping” hampir mustahil saat ini. Kedua, untuk menjadi seorang pemain “kacaping” butuh waktu lama. Bukan hanya itu, dia juga harus bisa menyanyi.  Menyanyinya pun tidak seperti menghapal lagu pada umumnya, tapi pada
improvisasi, kemampuan memori mengingat kisah-kisah tertentu, dan pengetahuan dalam sastra Mandar (“kalindaqda” dan perubahan ucapan kata-kata tertentu saat dinyanyikan).

Ketiga, bila mengharap pendapatan dari bermain “kacaping”, sangat sulit. Pemain “kacaping” hanya diundang pada even-even tertentu (misalnya festival, menyambut pejabat). Bila pun ada dari masyarakat umum, itu pun satu dua saja. “Pakkacaping” tidak lagi hiburan seperti dulu. Dia digantikan orkes, elekton, gambus, dan “sayangsayang”.

Meski demikian, Marayama pernah mengajarkan ilmu bermain “kacaping” ke beberapa orang, yaitu I Kanda (Lena, Galung Lombok), Cicciq Moreq (Lebukang), Jagariah (Pakkaqbang, Tandassura), Patima (Pakkaqbang, Tandassura), dan Indoq Sogo (Sossoq). Yang terakhir ini mungkin masih hidup, tapi sudah beberapa tahun Marayama tak pernah bertemu dengannya

Marayama juga pernah mengajar seorang “passayang-sayang”, tapi tidak lama sebab orang tersebut menganggap main kecapi sangat susah. Saat ini, Marayama menggunakan “kacaping”-nya yang keempat Menurutnya, “kacaping” itu dibuat di Kappung Lena (Galung Lombok) pada tahun 40-an, berbahan kayu “kuqmil” (nangka). Rata-rata kecaping tidak digunakan sebab kerusakan, bukan karena lapuk. Ada karena jatuh dari sandaran dan jatuh pas naik motor. Kecapi rawan rusak sebab kayunya amat tipis.

Yang menarik, menurut Marayama, senar “kacaping” yang paling bagus digunakan adalah kawat tali kopleng atau rem motor. Kuat katanya. Pernah juga dia menggunakan senar berbahan emas. Gara-gara ada orang Bugis pandai emas yang naksir pada dirinya.

Menurut Marayama, “kecaping” orang Bugis pendek-pendek. Juga lain bunyi dan juga bahasanya. Cara mainnya sering digendong pantatnya, sebab pendek. Beda cara main kecaping Mandar, pantat-nya disandarkan ke perut. Kecapi sebagai Jalan Hidup Yang harus dihargai pada diri Marayama adalah konsistensinya untuk terus menekuni permainan “kacaping” guna menghibur masyarakat yang mengundang atau memintanya. Dia terbukti menjadikan permainan musik kecapi sebagai jalan hidup.
Dia bisa dipastikan sebagai maestro dalam musik kecapi.
Dalam kebudayaan Mandar, khususnya unsur kesenian, Marayama adalah salah satu pewaris terakhir seni permainan “kacaping” yang dilakoni oleh wanita. Walau adiknya, Satuni, juga seorang pemain “kacaping” dan sering duet dengannya, ada kemampuan khas Marayama. Misalnya kekhasan suaranya, sedikit bariton dan saat menyanyi, setiap akhir bait ada lengkingan menyayat hati. Itu belum termasuk kemampuan sebagai seorang “pakkacaping” yang telah saya sebutkan sebelumnya, khususnya menyampaikan kisah-kisah lisan kepada pendengarnya.

Marayama dan pemain-pemain “kacaping” yang tersisa saat ini harus kita apresiasi dan hargai. Bentuknya beragam macam, bisa lewat pemberian penghargaan, mempelajari ilmu mereka, mendokumentasikan kemampuan dan kisah hidup mereka, maupun  emberi mereka banyak ruang untuk mengekspresikan permainan “kacaping”-nya.

Yang terakhir inilah yang sangat penting sebab itu berpengaruh nyata pada kelangsungan hidup dan generasi pemain “kacaping”. Sekedar informasi, tarif satu kali main (beberapa jam, sampai larut malam) per “pakkacaping”, tarifnya Rp 300.000 – Rp 500.000. Bandingkan dengan seorang pembicara di seminar yang hanya satu jam, tarifnya dari Rp 300.000 sampai jutaan. Jadi, tarif “pakkacaping” amatlah wajar.

Bila tak ada undangan untuk bermain “kacaping”, lambat laun “kacaping” akan mereka gantung untuk kemudian ilmu tak terwariskan. Sebab, tak ada generasi yang tertarik atau bercita-cita untuk menjadi sosok “pakkacaping”. Gilirannya, warisan masa lampau salah satu puncak berkesenian di Mandar akan hilang bersama lapuknya “kacaping-kacaping” anggun yang tak terpetik*)\

*) Dikutip dari Tulisan Muhammad Ridwan Alimuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon Komentar