Selasa, 22 Maret 2011

SITUS TOAMAKAKA ALLUNG


Kompleks makam Tomakaka Allung secara administrative terletak di desa Patampanua Kecamatan Matakali Kabupaten Polewali Mandar. Situs Tomakaka Allung terletak di atas batu (gua – gua batu). Wadah makam dibuat dari kayu berbentuk persegi empat panjang.

Teknik pembuatan dilakukan dengan memahat kayu pada bagian tengah, sampai membentuk lubang, dan bagian atas dibuatpenutup yang bahannya juga dari kayu.

Temuan makam di kompleks tersebut, ada dua buah. Tokoh atau orang yang dimakamkan di lokasi pemakaman tersebut tidak diketahui lagi, dan bentuk pemakaman dilakukan dengan system pemakaman kedua (secondary burial).

Ragam hias pada wadah makam berupa erong yang oleh masyarakat Mandar menyebut Allung, berupa garis – garis dan bentuk ekor binatang pada salah satu bagiannya. Kompleks Makam itu sampai sekarang tetap terpelihara.

Ukuran Allung, pada pemakaman tersebut, adalah sebagai berikut :
Allung I, berukuran panjang 250 cm, lebar 50 cm dengan ketinggian (tinggi Allung) 47 cm. Allung II berukuran panjang 200 cm, lebar 50 cm dan tinggi 48 cm. 
Read More..

KOMPLEKS MAKAM TUAN LANGARANG


Situs ini berada di desa Samsundu, Kecamatan Limboro , Kabupaten Polman, berjarak sekitar 3 km dari ibukota kecamatan Tinambung Letak situs dari jalan desa sudah diaspal berjarak sekitar 150 meter kearah selatan harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan setapak pemukiman, sebelah barat dengan kebun pisang, sebelah selatan dan timur dengan kebun pisang dan kelapa, pada ketinggian sekitar 40 meter dari permukaan laut. Keseluruhan makam di situs itu, berjumlah 4 buah dengan rincian 3 besar, dan 1 ukuran kecil berada dalam sebuah rumah atau cungkup dengan dinding tembok dan atap seng. Kondisi fisik sebenarnya cukup terawat karena oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar telah menempatkan seorang juru pelihara ( PNS ) namun karena ulah sekelompok oknum yang mengaku keluarga tokoh yang dimakamkan memberikan cat perak seluruh komponen makam sehingga nampak makam tidak asli. Tokoh utama yang dimakamkan adalah tuan Lamgngarang, beliau selain seorang putra bangsawan yang sangat berjiwa social dikenal pula sebagai muballig atau penganjur agama Islam didaerah  Mandar yang memiliki sejumlah kesaktian. Menurut informasi, konon sewaktu akan melaksanakan ibadah haji ke tanah suci kendaraan yang ditumpangi bukanlah kapal atau perahu malainkan laopi – lopi  kelapa ( anjoro ) di samping kesaktian lainnya dapat mendatangkan hujan lewat doanyan sehingga beliau juga dianggap seorang wali Allah.

Makam lainnya adalah makam Puang di Pangale, Puang ri Camba, dan makam anaknya Puang di Pangale. Menilik bentuk bangunan makam khususnya jirat atau kijing makam Nampak dibuat dengan cara memahat sedemikian rupa sebuah batu monolit ( peti batu ) yang akhirnya terbentuk sebuah bangunan berundak lengkap dengan gunungan yang terletak pada kaki da kepala jirat dan di atas atau di tengah jirat ditancapkan nisan bentuk gada bermahkota  maupun Nisan pipih menyerupai trisula.
Nisan bentuk gada bermahkota adalah nisan yang bentuk dasarnya bulat ( bundar ) dan pada bagian kepala di bentuk sedemikian rupa menyerupai mahkota ataupun kopiah sedang bagian dasarnya dipahat membentuk bidang – bidang. Nisan bentuk pipih adalah nisan yang bentuk dasarnya tipis dan pada puncak dibuat meruncing menyerupai mata tombak.

Hal yang menarik dari bagian – bagian makam di kompleks ini adalah bahwa bangunan makam seakan – akan tidak langsung di lokasi tersebut namun dibuat ditempat lain kemudian dipindahkan ketempatnya yang sekarang. Asumsi ini didasarkan pada kedudukan jirat atau kijing makam yang tidak menyatu dengan tanah disekelilingnya bahkan dasarnya ditopang sejumlah batu karang. Bahkan bahan baku pembuatan makam seluruhnya dari batu karang. Pola hias yang mendominasi jirat dan nia\san adalah pola hias sulu – suluran floraistis dan geometris dalam bentuk pilin ganda, dibuat dengan menggores ( incise ). Inskripsi sebagai salah satu dasar yang dapat memberikan petunjuk dalam mengungkap identitas yang dimakamkan tidak ditemukan sama sekali.
Ukuran makam sebagai berikut :
Ø  Makam yang besar, berukuran :        
Tinggi = 95 cm
Lebar = 57 cm
Panjang = 120 cm
Ø  Makam yang sedang, berukuran :   
Tinggi = 137 cm
Lebar = 71 cm
Panjang = 95 cm
Ø  Makam yang kecil, berukuran  :         
Tinggi = 121 cm
Lebar = 56 cm
Panjang = 72 cm
Read More..

KOMPLEKS MAKAM PALLABUANG


Makam ini terletak di lingkungan Paggiling, Kelurahan Tinambung, Kecamatan Tinambung berada pada ketinggian 70 meter dari permukaan laut. Situs ini dapat dijangkau dengan melewati setapak mendaki yang berjarak 500 meter dari ibukota kecamatan Tinambung. Situs ini terletak di sebuah bukit dengan lingkungan alamnya dipenuhi tanaman palawija seperti kelapa dan pisang.

Kompleks makam ini telah dipagar, dan untuk merawat serta memelihara kompleks makam ini telah ditempatkan juru pelihara ( honor ) dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar.
Status kepemilikan tanah oleh keluarga Maraddia (H. A. Manda ). Jumlah makam dikompleks ini sekitar 95 buah dan telah dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar. Dari sejumlah makam yang ada hanya beberapa buah yang diketahui identitasnya yaitu :
1.    Makam Puang Tuppu, beliau termasuk salah seorang pemangku adat di kerajaan Balanipa, makamnya terletak disebelah barat kompleks.
2.    Pamassei, tokoh ini yang paling utama dalam kompleks makam ini, makamnya terletak persis di depan pintu gerbang kompleks makam dan berada dalam sebuah cungkup dengan dinding terali besi. Makamnya telah mengalami pemugaran khusus jiratnya telah diberi tegel keramik. Beliau merupakan anak raja Tokape ( Jaka Talluna Balanipa ) yang turut memperkuat dan melanjutkan perjuangan Maraddia Tokape di bawah pimpinan Ammana I Wewang di dalam melawan penjajah Kolonial Belanda dan sangat gigih berjuang mempersatukan kerajaan – kerajaan Mandar dan mengakhiri perang saudara yang sering terjadi.
Orientasi bangunan /jirat makam mengarah utara – selatan sehingga dikategorikan sebagai makam Islam. Adapun ukuran makam bervariasi ada yang besar, sedang dan kecil. Dibawah ini ukuran masing – masing sampel.
Bangunan / jirat makam yang besar berjumlah 21 buah, berukuran :
-       Panjang : 364 cm
-       Lebar : 223 cm
-       Tinggi : 60 cm


Yang berukuran sedang sebanyak 40 buah, berukuran
-       :Panjang : 45 cm
-       Lebar : 62 cm
-       Tinggi : 80 cm

Yang berukuran kecil sebanyak 34 buah, berukuran :
-       Panjang : 36 cm
-       Lebar : 21 cm
-       Tinggi : 20 cm

Teknik pembuatan bangunan makam ada 2 yaitu :
1.    Dengan system papan batu yang dihubungkan satu dengan yangn lain diikat dengan pen membentuk bangunan berundak 2 sampai dengan 4.
2.    Dengan mempergunakan batu monolit ( peti batu ) dimana yang dikerjakan dan dipahat lebih lanjut hanya bagian atas jirat berupa pembuatan lubang untuk tempat nisan ditancapkan.

Nisan sebagai salah satu komponen makam yang selalu hadir memperlihatkan beberapa tipe yaitu tipe hulu keris, gada bermahkota, pipih menyerupai trisula atau mata tombak dan nsan tidak beraturan.

Khusus untuk nisan hulu keris dan gada, nampaknya selalu ditempatkan berpasangan pada setiap makam. Unsur lain yang melengkapi makam adalah gunungan yang selalu dipasang pada bagian kaki dan kepala makam namun penempatan gunungan ini biasanya pada bangunan atau jirat yang berundak .

Ragam hias yang ditampilkan di kompleks makam ini sangat bervariasi berupa hiasan florastis dalam bentuk sulur – suluran dan terdapat dalam bentuk pilin dan cakra. Selain ragam hias terdapat pula inskripsi yang menghiasi bidang – bidang nisan bentuk gada bermahkota dan jirat. Kalimat tauhid yang biasa terdapat pada inskripsi adalah Allah dan La ilaha illallah disamping tahun hijriah.
Ragam hias dan inskripsi tersebut dibuat dengan cara memahat atau mengukir batu makam sehingga tercipta ornament – ornament timbul. Secara keseluruhan bahan bangunan makam, baik jirat, kijing, nisan maupun gunungan terbuat karang.
Read More..

KOMPLEKS MAKAM PUANG TOBARANI


Sesuai dengan namanya, maka di kompleks ini dimakamkan seorang panglima perang kerajaan Balanipa dan keluarganya. Makam ini pada waktu – waktu tertentu masih sering dikunjungi masyarakat Mandar dan sekitarnya.

Situs ini secara administratif berada dalam wilayah desa Tandung, Kecamatan Tinambung, Kabupaten Polewali Mandar. Untuk sampai ke lokasi tersebut dapat ditempuh melalui jalan desa yang sudah diaspal berjarak sekitar 1 km dari poros jalan utama Polewali – Majene. Kompleks makam ini terletak di belakang rumah penduduk yang berbatasan sebelah utara dengan kebun/hutan. Demikian pula sebelah baratnya, sedangkan sebelah timur dan selatan dengan pemukiman dan telah dipagar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar seluas 40 x 35 meter dengan status tanah milik pribadi/perorangan.

Untuk merawat dan memelihara kebersihan makam oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Makassar telah menempatkan seorang tenaga juru pelihara honor. Jumlah makam yang ada sekitar 125 buah dengan klasifikasi makam yang besar 7 buah, sedang 110 buah dan makam yang kecil 21 buah, dengan orientasi makam utara – selatan sehingga dikategorikan sebagai makam Islam.

Bila diperhatikan dengan seksama nampak bahwa bangunan jirat makam, baik bentuk maupun teknik pembuatannya tidak berbeda dengan makam pada kompleks makam lainnya yaitu hanya berupa sebuah bangunan berundak dari sebuah batu monolit dilengkapi dengan atau tanpa gunungan dengan nisan 1 atau 2 buah bentuk lainnya berupa system papan batu yang dibuat dengan cara susun timbun. Selain itu nampaknya di kompleks ini ada beberapa bangunan makam yang sangat spesifik yaitu jirat makam yang dibuat dari batu monolit dalam ukuran kecil kemudian dipahat membentuk sebuah makam lengkap dengan gunungan dan 2 buah nisan, gunungan dn ini seakan menyatu dengan bentukan nisan balok dengan puncak melebar, bulat. Adapun bentuk nisan pada kompleks makam ini selain bentuk hulu keris dan gada yang selalu ditancapkan secara berpasangan pada sebuah jirat, terdapat pula beberapa buah nisan bentuk batu tegak dn nisan selindrik (balok).

Hiasan yang mengisi bidang – bidang jirat makam, nisan maupun gunungan makam terdiri dari ragam hias sulur – sulur pilin (spiral) dan tumpal, dengan cara pembuatan dengan memahat batu makam sehingga memunculkan sebuah hiasan dekoratif  dalam bentuk ornament – ornament timbul.
Read More..

Selasa, 08 Februari 2011

SITUS MAKAM IMAM LAPEO

Lokasi makam ini terletak di desa lapeo Kecamatan Campalagian Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat.
Makam Imam Lapeo ini berada dalam kompleks bangunan Mesjid dan disekitar Mesjid dipadati rumah – rumah penduduk. Makam ini sangat mudah dijangkau karena letaknya berada di Jalan Poros Makassar – Majene.
Bangunan makam ada 2 buah yang terletak dalam sebuah cungkup menghadap ke Timur. Yang menarik dari makam ini adalah terdapatnya semacam rangka tempat tidur dari besi di luar badan makan seakan – akan berfungsi sebagai pagar. Bangunan makamnya sendiri nampaknya sudah berupa bangunan modern berorientasi utara – selatan membentuk empat persegi panjangdengan hiasan gunungan pada bagian kepala dan kaki makam. Jumlah Undakan kedua gunungan tersebut tidak sama, gunungan di sebelah utara terdiri dari lima undakan dan undakan gunungan sebelah selatan enam undakan. Adanya perbedaan undakan ini berdasarkan konsep ajaran Islam yaitu adanya rukun Islam dan rukun Iman.

 Adapun nisan makam ini hanya 1 buah terbuat dari kayu ebonik ( kayu hitam) berbentuk gadah, terdiri atas tiga bagian yaitu bagian bawah, bagian tengah dan bagian atas, masing-masing bagian bagian di batasi oleh pelipit. Ragam hias nisan dengan pola tumpal dibuat dengan cara memahat sehingga Nampak berbentuk ornament timbul.
Mengamati penempatan lokasi makam yang berada dalam komplek mesjid menunjukkan adanya kesinambungan dalam tata cara pemakaman yang berasal dari tradisi pra Islam yaitu pada pola penempatan seorang yang dianggap tokoh yang paling dihormati, biasanya penempatan makamnya dalam suatu kompleks yang dianggap suci seperti penempatan makam diatas bukit atau satu kompleks dengan mesjid. Tata laku penguburan seperti ini bersumber pada suatu gagasan atau ide tentang makro kosmos, dan mikro kosmos begitu pula tentang konsep adanya hidup setelah mati.
Berikut ini ukuran bangunan makam dan bagian-bagiannya , masing – masing :
-       Panjang makam : 252 cm
-       Lebar makam 120 cm
-       Tinggi nisan : 100 cm
-       Diameter nisan : 15 cm
-       Tinggi makam hingga nisan : 122 cm
-       Ukuran lingkaran dasar nisan : 80 cm
-       Ukuran badan nisan : 51 cm
Read More..

SITUS MAKAM TODILALING

Situs ini berada di Desa Napo, Kecamatan Limboro Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat. I Manyambungi atau lebih dikenal dengan nama Todilaling Raja Balanipa I (pertama). Posisi kerajaan Balanipa dalam Pitu Ba`bana Binanga adalah sebagai bapak/ketua dan sekaligus sebagai pemeran pokok dalam sejarah perkembangan kerajaan –kerajaan di Pitu Ba`bana Binanga. I Manyambungi berasal dari Napo, semasa kecil beliau sering bersabung ayam dengan sepupunya  anak
Tomakaka Napo. Suatu ketika I Manyambungi bersama sepupunya tersebut mengadakan adu ayam (sabung ayam) namun ayam I Manyambungi pada saat itu kalah dan akhirnya I Manyambungi membunuh sepupunya karena merasa malu. Karena peristiwa itulah beliau melarikan diri ke Gowa dengan menumpang perahu Makassar atas usulan Pappuangan Mosso di Campalagian. Setelah sampai di Gowa Ia ditempa menjadi “Juak” anggota militer kerajaan Gowa bahkan pihak kerajaan Gowa pada waktu itu member kepercayaan kepadanya untuk memimpin tentara memerangi musuh – musuh kerajaan Gowa.

Kepopuleran I Manyambungi tersebut didengar oleh pemuka – pemuka masyarakat di daerah asalnya (Mandar), diperburuk oleh adanya kekacauan di dalam negeri waktu itu. Kondisi ini dimanfaatkan sebaik – baiknya oleh pemuka masyarakat untuk menghadap raja Gowa, meminta agar mengembalikan I Manyambungi ke Tanah kelahirannya (Tanah Mandar). Kehadiran I Manyambungi sangat diharapkan, memulihkan tanah Mandar dari kekacauan.
Kembalinya I Manyambungi dari Perantauan sekaligus merupakan tonggak sejarah baru bagi kerajaan Balanipa.
I Manyambungi yang bergelar Todilaling diangkat sebagai Raja Balanipa I dengan meliputi Appeq Banua Kaiyyang (Empat Kampung Besar), yakni Napo, Samasundu, Todang – Todang dan Mosso.
I Manyambungi mempersunting seorang gadis anak keluarga raja Gowa yang dari perkawinan itu lahirlah Tomepayung Raja Balanipa kedua.
Read More..

Rabu, 26 Januari 2011

TOMBO PALUA, AHLINYA “CALONG”


Tombo Palua namanya. Ia pandai menyanyikan lagu Mandar bergenre “tipalayo” dan “piondo”, yaitu lagu mendayu-dayu yang didendangkan seseorang yang merindukan kekasihnya atau saat menidurkan bayi. Tombo Palua (ada yang menulis Padzua atau Padhua) seorang seniman unik di Mandar. Bila berdasar kartu keluarga, dia lahir pada 1 Juli 1937. Dia meragukan persis lahir pada tanggal itu, tapi memang lahir di akhir tahun 30-an. Buktinya, ketika tentara Jepang hadir di Indonesia, dia sudah remaja.

Tombo Palua selalu mengenakan passappu. Ini adalah penutup kepala yang jamak digunakan kaum lelaki di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di masa lalu. Saat ini hanya satu dua yang masih mengenakannya di Mandar. Jika ke Kajang, Bulukumba, kebiasaan mengenakan passappu ini masih terlihat di kalangan lelaki dewasanya.

Dalam seni tradisi Mandar, Tombo Palua bisa dikategorikan ahli. Selain menyanyi lagu-lagu kuno Mandar, juga lincah menari “denggoq”, memainkan alat musik “calong”, meniup “paluppung”, dan melucu bila beraksi di panggung. Itulah kekhasan Tombo atau akrab disapa “Kamaq Kardi” (nama anak pertamanya Kardi).

Tombo penari “denggoq” paling tua di Mandar. Tarian denggo’ amat bersahaja, tidak ada pakaian khusus bila akan menarikannya. Satu-satunya alat yang biasa dibawa pa’denggo’ yang juga merupakan salah satu sumber musik dalam menarikannya adalah dua pasang sendok makan (dulu menggunakan sendok porselen dari Cina). Sendok makan tersebut dimain-mainkan di kedua tangan sambil tubuh bergerak menari-nari. “Denggoq” bisa dimainkan di atas panggung atau di lapangan, khususnya ketika ada acara “saeyyang pattuqdu” (kuda penari).
Tampak benar karakter Tombo Palua ketika menari. Selain tubuh bergerak dinamis, matanya juga ikut menari-nari mirip penari Bali. Tapi mata Tombo Palua laksana mata lelaki yang menggoda sang gadis. Hal tersebut menjadikan tariannya selalu diselingi tawa penonton. Belum lagi bila Tombo Palua meniru-niru gerakan orang pincang. Tombo punya banyak saudara. Paling tidak dia memiliki 10 saudara dari isteri kedua bapaknya.
Dia sendiri semata wayang dari isteri pertama bapaknya. Bapaknya bernama Palua dan ibunya bernama Kamuq. Tombo Palua menikah pada zaman pemberontakan DI/TII  yang di Mandar dikenal dengan istilah “gorilla” di daerah pengungsian (pedalaman Mandar). Dari pernikahannya dengan Bacci’, Tombo Palua memiliki 7 anak, tiga di antaranya sudah meninggal dunia.
Pada tahun 1980-an, sebagaimana kebanyakan laki-laki Mandar, Tombo Palua pergi merantau ke Kalimantan Timur, yaitu di daerah Biduk-biduk. Selama lima tahun dia bekerja sebagai penggergaji kayu. Kemudian dia balik ke Mandar untuk berkebun coklat di daerah pedalaman. Lalu pada tahun 2006, dua seniman muda Mandar, Sahabuddin dan Dalif sewaktu masih kuliah di Universitas Negeri Makassar, menyadari peran penting Tombo Palua dalam khazanah kesenian tradisi Mandar. Maka Tombo Palua pun diajak turun gunung. Dia diminta mengajarkan teknik permainan dan sejarah “calong”, baik kepada mereka berdua maupun anak-anak sekolah dasar.
Disadari atau tidak, maraknya penggunaan alat musik “calong” dewasa ini, baik sebagai mata pelajaran kesenian di SD hingga permainan “calong” secara kolosal di PORDA I Sulawesi Barat beberapa tahun lalu tak lepas dari pewarisan ilmu Tombo. Muasal calong Sahabuddin Mahganna, etnomusikolog Mandar, pernah melakukan penelitian tentang alat musik “calong”, alat musik yang amat dikuasi Tombo Palua dan Tombo adalah informan penting dalam riset tersebut.
Menurut Ka’dara, dalam hasil penelitian Sahabuddin, “calong” itu “Tappa calong tomo tia disangangangi” (Memang langsung dinamakan “calong”) dan mengapa berbilah empat sebab “Keempat bilahan itu adalah simbol “Appeq Banua Kayyang”) (jumlah “banua” yang membentuk Arajang Balanipa, yaitu Mosso, Napo, Samasundu dan Todang-todang).
Adapun menurut Tombo menguraikan bahwa “calong” adalah simbol kebangsaan orang Balanipa, sebab melihat dari bentuk dan bagian instrumennya yakni pada bilahan dan ruang resonansinya. Dia juga tidak mengetahui orang pertama memberi nama itu. Tombo menambahkan, “Tillong-tillong tangnga wongi” (suara mendayudayu di tengah malam).
Bila menganggap “calong” identik dengan alat musik calung di Sunda, yang merupakan varian dari angklung agak kurang tepat. Angklung dimainkan dengan cara menggoyangnya sedang “calong” dipukul-pukul. Alat pemukul, berupa dua kayu kecil dipukulkan pada ruas-ruas bilah bambu yang tersusun menurut tangga nada pentatonik (da-mi-na-ti-la).
Informan Sahabuddin yang lain, yakni Sakai menguraikan, bahwa “calong” hadir bertepatan dengan adanya praktek petani atau pekebun Mandar yang mengisi waktu senggang di kala menjaga kebunnya.
Pendapat agak ilmiah dikemukakan pemain “calong” yang juga pengerajin tali di Lambe, Karama, yaitu Abdullah atau Kamaq Salding. Menurut orangtuanya, cikal bakal “calong” tidaklah menggunakan buah kelapa sebagai landasan bilah bambu atau ruang resonansi, tetapi di paha si pemain. Saat di rasa paha tidak maksimal, kaku dan  sakit dalam waktu lama, maka digunakanlah buah kelapa. Pendapat yang samadikemukakan oleh budayawan Nurdin Hamma.
Bila memang cikal bakal “calong” adalah hanya bilahan bambu yang diletakkan di antara kedua paha, itu mirip dengan alat musik yang di Bugis disebut “gandonggandong” sedang di Mandar istilahnya “gandi-ganding”.
Dan mengapa hanya empat bilah? Menurut saya, yang juga dituliskan Sahabuddin dalam hasil risetnya, bahwa irisan tempurung kelapa (yang akan menjadi ruang resonansi) hanya bisa menampung empat bilah (nada). Mungkin lain ceritanya bila ukuran kelapa di Mandar lebih besar dua kali lipat dengan yang sekarang; mungkin bilahnya lima atau enam.
Kesimpulannya, menurut Sahabuddin, alat musik “calong” adalah hasil pengembangan “gandi-ganding” yang diperkirakan sebelum abad ke-15. Sedangkan pengembangannya menjadi “calong” diperkirakan di awal peradaban Arajang Balanipa (abad ke-15). Disebut “calong”, mungkin berasal dari dua kata “caq” dan “long”. “Caq” itu bunyi yang dikeluarkan saat pemukul mengenai bilah dan “long” berasal dari kata “tillotillong” (suara mendayu-dayu) atau unsur bunyi alat musik yang menghantar getaran tabuh inti instrumen itu sendiri. Sedangkan “calong” secara terminologi adalah sebuah alat musik tradisional Mandar yang termasuk jenis musik idiofon. Berfungsi menciptakan suasana riang serta memberi isyarat terhadap sesama, baik itu di kebun maupun di lingkungan masyarakat.
Alat musik lain yang dikuasai Tombo adalah “palluppung” atau “keke” berukuran besar. Dalam bahasa Bugis disebut “panoni” atau “katinting”. Alat tiup ini semacam klarinet yang biasa dibuat pada musim panen dari batang padi yang dibuatkan lidahlidah getar dan dilengkapi corong dari daun kelapa. Alat musik ini juga jamak digunakan para petani dan penggembala kerbau di Mandar.

Hidup bersahaja
Saat ini Tombo Palua dan isterinya tidak berkebun lagi karena sudah tua. Mereka berdua bersama seorang anaknya kembali tinggal di Oting, dusun kecil berjarak 2 km dari jalan trans-Sulawesi (sekitar 285 km dari Makassar). Aktivitas kesehariannya membuat gerabah, mulai “pallu” (tungku), “balenga litaq” (panci berbahan tanah), hingga “panjjepang” (semacam piring dari tanah untuk digunakan membakar ampas ubi kayu yang akan dibuat makanan “jepa”).
Rumah Tombo Palua amat bersahaja. Ruang tamunya khas rumah kampung: satu set ranjang, di dinding tertempel beberapa foto artis bekas kalender, foto(kopian) ukuran kecil gambar Arung Palakka bersama wali, dan beberapa kalender tua, dan poster kampanye beberapa politikus.
Juga ada lemari yang berisi beberapa alat musik tradisional Mandar, foto-foto pementasannya, dan sepasang sepatu kulit. Di depan pintu masuk rumahnya terdapat
tiga set alat musik calong yang tampak ramai dengan hiasan benang warna-warni dan selembar bendara merah putih yang tampak jamuran.
Di tengah kesederhanaan rumahnya, itu tak membuat para pemerhati seni enggan datang berkunjung, baik bersilaturrahmi maupun untuk menuntu ilmu. Murid-murid Tombo yang saat ini telah mengabdi sebagai guru, misalnya Ishaq di SMA 2 Majene dan Sahabuddin di SMA 1 Tinambung, sering membawa datang siswa-siswanya untuk belajar langsung teknik dan sejarah musik “calong” dan keterampilan membuat alat rumah tangga dari tanah liat ke Tombo Palua. Tombo pun dengan senang hati menerima dan mewariskan ilmunya.
Tombo tidak hanya mengajarkan ilmu ke “timba yang mencari sumur”, tapi juga murid-murid yang dia rekrut langsung, yaitu anak-anak kecil di sekitar rumahnya, yang masih terhitung cucunya. Perangkat hadat dan artis Tak banyak yang tahu, di tengah sosok sederhananya, ternyata Tombo juga seorang perangkat adat Kerajaan Balanipa. Pada pelantikan Arajang Balanipa ke-54, Tombo termasuk orangtua yang menentukan protokoler acara. Dalam hadat, dia digelari “Tomabubeng Limboro”. Menurut Sjarbin Sjam (Bunga Rampai Kebudayaan Mandar dari Balanipa, 1997), Pepuangan dan Tomabubeng Limboro anggota Hadat Balanipa atau pemimpin “banua” yang tidak termasuk “Appeq Banua Kaeyyang” (Napo, Mosso, Samasundu, dan Todang-todang).
Intinya, peran Tombo Palua amat penting dalam beberapa prosesi budaya Kerajaan Balanipa dan sebagai tempat bertanya aturan-aturan tradisional untuk beberapa upacara. Sayangnya, saat ini, proses yang berdasar pola kepemimpinan tradisional tidak berjalan lagi, sehingga peran-perang perangkat hadat cenderung seremonial saja.
Di tengah posisinya sebagai seniman senior, penting, dan termasuk perangkat hadat Kerajaan Balanipa, tidak serta merta Tombo memiliki sikap egois. Sebaliknya, dia sangat membumi dan bergaul layaknya sahabat dengan seniman-seniman muda yang
bisa dianggap cucunya. Tombo hampir tak pernah menolak bila diundang memainkan keterampilannya, baik menari, menyanyi, hingga bermain musik.
Bukan hanya itu, bermain film pun Tombo Palua sudah pernah. Salah satu film yang diproduksi Komunitas Indie Tia berjudul 45!!! menjadikan Tombo Palua sebagai tokoh utama. Tombo diajak bermain sebab dia memang bisa akting, berbeda dengan seniman-seniman tua lainnya di Mandar.
Sebagai pemain musik dan penyanyi pun Tombo terlibat dalam pembuatan film dokumenter. Beberapa film fiksi dokumenter yang diproduksi Studio Teluk Mandarmenggunakan musik Tombo, baik nyanyian “tipalayo-nya”, tiupan “palluppung-nya” (45!!!, Tammejarra) maupun lagi penidur bayi (“Kanneq Sando”). Lalu pada tahun
2008, rumah produksi film dokumenter untuk acara film dokumenter di stasiun TV NHK, Jepang, pernah datang ke Mandar untuk merekam nyanyian “tipalayo” oleh Tombo dengan iringan permainan “kacaping” Ka’musa.

Penghargaan
Sebagai pekerja senin yang intens dijalani selama puluhan tahun, amat layak seorang Tombo Palua dihargai oleh pihak lain, baik pemerintah, pemerhati budaya, maupun generasi pelanjutnya. Pada Festival Seni Tradisional Sulawesi Selatan di Makassar pada 29-31 Desember 200 yang terlaksana atas kerjasaman Disbudpar Sulsel, Badan Kerjasama Kesenian Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan dengan Meditatif Audiovisual Documentation, Tombo Palua menerima penghargaan sebagai pemain alat musik tradisional “calong”. Waktu itu, Tombo direkomendasikan oleh Komunitas Seni Tradisi Assamalewuang Mandar yang digawangi Sahabuddin dan Dalip.
Kemudian pada September 2009, Tombo bersama seniman tradisi yang lain (Cammana, Marayama, Satuni, Ka’adara, dan Madan) kembali menerima penghargaan dari Forum Sipakaraya, yaitu Anugerah Sipakaraya. Anugerah tersebut didedikasikan untuk para individu atau organisasi yang terbukti mengabdikan dirinya pada bidang-bidang tertentu, mulai dari dunia seni, pendidikan, teknologi, dan lingkungan hidup. Adapun Forum Sipakaraya adalah organisasi yang menghimpun beberapa lembaga kesenian di Tinambung dan sekitarnya yang peduli pada sikap saling menghargai dan bekerja sama dalam pengembangan dan pelestarian dunia senibudaya Mandar.
Kehidupan dan keterampilan sosok seperti Tombo Palua adalah harta tak bernilai. Ironisnya, Tombo Palua dan seniman yang menggeluti alat-alat seni tradisional, banyak yang terpinggirkan. Mereka hanya dijadikan sebagai penghibur, misalnya penyambutan pejabat. Ya, mereka adalah penghibur, tapi sejatinya mereka menjadi bagian mata rantai dari tradisi berkesenian yang berawal ratusan tahun lalu.
Bukan hanya itu, pengetahuan yang mereka miliki bisa menjadi salah satu sumber inspirasai dalam mempelajari persilangan budaya di nusantara. Seorang Tombo Palua
memang bukan hanya milik orang Mandar

*)  Dikuti dari Tulisan  Ridwan AlimuddinMuhammad
Read More..

Minggu, 23 Januari 2011

Marayama, “Pakkacaping Tobaine” Terakhir


Marayama seorang maestro permainan musik “kacaping”. Saat ini, bila melihat posturnya, mungkin tak terbayangkan beliau seorang pemain kecapi dan penyanyi lihai. Tubuhnya renta, bungkuk, kulit berkeriput, khas orangtua. Tampak lemah. Tapi bila dia menggendong kecapi untuk kemudian memetik dawainya sambil bernyanyi, ada energi besar yang memancar. Ya, itu ciri khas para maestro. Seperti

almarhum Ma’ Coppong, tubuhnya sangat lemah, tapi ketika menari, dia bagai sosok seorang gadis muda.

Saat ini, Marayama tinggal di tengah “hutan” kebun coklat dan pohon kelapa, di kaki Bukit Timbu-timbu. Bila tak tanya-tanya, untuk menemukan rumahnya agak susah. Menuju rumahnya, bila dari Tinambung naik kendaraan bermotor melewati Desa Galung Lombok, Desa Renggeang, kemudian Desa Tandassura (sekitar 10km dari jalan trans Sulawesi di Desa Tandung). Antara mesjid dengan SD Tandassura, ada jalan setapak bercabang ke tengah ‘rimba’ kebun. Jalan berkelok-kelok, melalui satu-dua rumah panggung. Sekitar 300m dari jalan poros Tandassura atau 1km dari Sungai Mandar, rumah kayu sederhana Marayama terdapat.

Di sekitar rumahnya terdapat rumah kerabatnya, termasuk saudara perempuannya , Satuni. Rumah Marayama amat bersahaja. Hampir semuanya kayu, berbahan bambu,
kecuali dinding depan rumah berbahan seng. Pun tak ada listrik dirumahnya. Jadi bila malam hari menggunakan lampu minyak sebagai penerang. Marayama tidak tahu persis kapan dia lahir. Tapi dia sudah kanak-kanak saat penjajahan Jepang. Jadi saya perkirakan dia lahir pada tahun 30-an, era pakkacaping legendari, I Pasoq. Jadi kira-kira umurnya saat ini sekitar 80 tahun. Keluarga Marayama mempunyai beberapa saudara, semuanya bisa bermain kecaping. Mereka adalah I Yasi (perempuan), Lemba (laki-laki), Marayama, Satuni, Sapa (laki-laki, tahu main kecaping tapi tidak menjalani sebagai pekerjaan).

Dari sekian bersaudara, kakak tertua (I Yasi) yang paling ahli main kecaping. Walau kedua orangtua  Marayama bisa bermain kecaping, tapi I Yasi-lah yang mengajari adik-adiknya bermain kecaping. Bapak Marayama bernama I Jalaq (dari Kambaqjawa, Samasundu), ibunya bernama Maliaya (Galung, Majene). Sebab pergi berkebun, makanya pindah ke tempat sekarang. Sebelumnya tinggal di Renggeang, tempat Marayama lahir. Kedua orangtua Marayama juga tidak menjadikan kecaping sebagai jalan hidup. Beda
dengan kakek Marayama. Dia seorang “paqgeso”, alat musik kuno khas Sulawesi Selatan dan Barat. Alat musik ini seperti biola, digesek-gesek. Biasa dimainkan di acara-acara sunatan, pernikahan. Saat ini alat musik tersebut telah punah.
Kakek Marayama bernama I Roa, orangtuanya (buyut Marayama) berasal dari Lombok dan Salabose (Majene). Selain seorang “paqgeso”, juga pembuat kecapi. Jadi waktu Marayama kecil, telah ada benda-benda yang menjadi teman hidupnya sampai tua. Selain dari orangtua dan kakaknya, Marayama juga mendapat pengaruh bermain “kacaping” dari kerabat yang masih terhitung pamannya, yakni Sumaati. Juga dari I Cicci, saudara ibunya. I Cicci ini punya kelebihan bermain kecaping siapapun teman duetnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Di masa-masa tuanya, I Cicci hidup bersama Marayama. Ketika I Cicci kena stroke (lumpuh separuh) saat buang air di kebun, Marayama (yang sudah tua waktu itu) pergi menolongnya. Selain mewarisi ilmu “makkacaping”, kepada Marayama, I Cicci juga mewarisi sebuah kecaping kuno yang saat ini tergantung di ruang tengah (dapur) Marayama. Suami pertama bernama Ba’durramang, anak buah Bandru (pimpinan “gorilla” yang sangat terkenal). Ba’durramang tewas di Kayumate, Mamuju. Awalnya Marayama ikut suaminya ke Mamuju, tapi dia balik ke Majene. Beberapa lama kemudian ada kabar suaminya tewas oleh pasukan Bugis, pimpinan Salla Kalluq, kena malam Ahad. Kemudian Marayama kawin lagi dengan Ba’as tapi cerai sebab si Ba’as suka kawin cerai. Baik Ba’durramang maupun Ba’as orang Tandassura. Waktu bersama Ba’durramang, Marayama tinggal di Puppengaq. Dari pernikahannya, Marayama tidak memiliki keturunan. Itulah musabab dia disappa “Kanneq Manang” (manang = tamanang, mandul). Mungkin generasi sekarang itu seperti ejekan, tapi sebenarnya hal yang umum. Malah ada raja di Mandar yang namanya berdasar pada kekurangan dirinya, misalnya Tokape dan Andi Depu (kata “depu” berasal dari kata “arepus” yang berarti jelek). Era sebelum tahun 90-an, apalagi waktu itu beberapa tempat di Mandar masih sangat terpencil, pergi bermain “kacaping” adalah tantangan tersendiri. Untuk itu, setiap pergi, apalagi di saat Marayama masih seorang gadis, biasa diantar bapaknya. Untuk bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya biasa pergi berhari-hari, berminggu-minggu. Dulu belum marak kendaraan bermotor, jadi mereka lebih sering pergi dengan berjalan kaki apalagi bila ke pedalaman Mandar, misalnya Ratte Kallang, Tu’bi dan lain-lain. Dulu, perjalanan dan permainan mereka dihargai dengan ringgit, sekarang dengan rupiah dan sesekali tambahan hasil kebun.
Sebagai Jalan Hidup Dalam bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya sering diserang ilmu hitam.

Pernah suatu waktu saat bermain di Tu’bi, saat bermain, Marayama merasakan dirinya dililit ular besar. Dia berkata kepada Satuni bahwa dirinya sedang dililit ular, tapi Satuni tak melihat ada ular ditubuh kakaknya. Lain waktu, sering ada beterbangan cahaya mirip bara tempurung di sekitar mereka. “Kacaping” biasa tiba-tiba menghilang tapi bunyi terdengar. Tikar bermain “kacaping” pun sering dijadikan media untuk menyerang mereka kala bermain “kacaping”. Tikar langsung tergulung dan bantal (yang biasa digunakan untuk menyanggah paha saat bermain) tiba-tiba seperti benda hidup, antar bantal bertarung satu sama lain. Secara fisik pun sering diserang. Tubuh sampai sakit dan mencret-mencret bila pulang ke rumah. Tapi Marayama dan Satuni bangga, walau sering diserang, untuk sampai menyerah atau stop bermain gara-gara ilmu hitam, belum pernah. Ya, walau diserbu terus, mereka tetap memetik dawai-dawai “kacaping”-nya, mirip salah satu adegan di film Kungfu Hustle. Selain disebabkan ilmu hitam, hal lain yang sering mengancam jiwa Marayama dan Satuni bila pergi bermain “kacaping” adalah perkelahian antar penonton. Hal umum di Mandar, pada tahun-tahun sebelum 80-an, setiap acara keramaian biasanya ada perkelahian yang berakhir pada aksi baku tikam. Pemali “Dilarang keras melangkahi”, ungkap Marayama tentang pemali pada “kecaping”. Bukan hanya itu, “kacaping” juga memiliki “kekuatan” yang bisa membuat orang kualat atau celaka. Bila sesorang membuat sebuah nazar (janji), misalnya, kalau saya memiliki kerbau saya akan mengundang “pakkacaping”. Bila nazar itu tak dipenuhi, dia akan sakit. Dalam waktu yang bersamaan, kecapi di rumah Marayama akan “tegang dawainya, sering berbunyi”. Itu adalah tanda ada yang belum memenuhi nazarnya, ada yang sakit. Sebagai obatnya, mengundang “pakkacaping” main. Juga, bila ada pemain kecapi lewat di depan rumah sambil membawa kecapi-nya, lalu ada yang menyapa “Singgah-lah” lalu dibalas si pemain kecapi “Tidak usah”, maka yang menyapa/mengundang akan sakit. Agar terhindar dari sakit atau sembuh, harus
mengundang “pakkacaping”.

Untuk itulah tidak usah menyapa “pakkacaping” yang sedang lewat. Tapi kalau mereka tidak bawa  kecapi-nya, tidak apa-apa. Juga tidak apa-apa bila si pemain kecapi itu memang betul singgah.
Penghargaan Pada tahun 40-an, Marayama dan I Tage pernah mendapat penghargaan Peniti Perak dari pemerintah Distrik Tenggelang (Puang Tenggelang Hamma) pada tahun 40-an di Kampung Lambe Lotong, Desa Sumarrang (Kecamatan Campalagian saat ini). Lebih lima dekade kemudian, Marayama [bersama Cammana (pemain rebana), Tombo Palua (penari, pemain calong, penyanyi), Ka’dara (pemain kecaping, peniup keke, pemain calong), dan Ma’dang (guru silat)] mendapat penghargaan Anugerah
Sipakaraya dari Forum Sipakaraya di Tinambung (September 2009).
Selain menyebut pemerintah sebagai pihak yang selalu mengundang mereka bermain “kacaping”, di luar undangan oleh masyarakat umum, Marayama juga biasa ke Makassar atas undangan Arajang, yakni Andi Depu. Memang Andi Depu sebagai Arajang Balanipa pernah lama di Makassar, sebagai bagian dari strategi perjuangan melawan Belanda. Tak ada regenerasi “Sekarang tak ada yang mau belajar “kacaping””, ungkap Marayama saat ditanya regenerasi pemain “kacaping”. Dibanding Cammana dalam permainan rebana, regenerasi pemain “kacaping” sangat jauh tertinggal. Itu disebabkan banyak hal.
Pertama adalah minat generasi muda, khususnya perempuan, untuk menjadi pemain “kacaping” hampir mustahil saat ini. Kedua, untuk menjadi seorang pemain “kacaping” butuh waktu lama. Bukan hanya itu, dia juga harus bisa menyanyi.  Menyanyinya pun tidak seperti menghapal lagu pada umumnya, tapi pada
improvisasi, kemampuan memori mengingat kisah-kisah tertentu, dan pengetahuan dalam sastra Mandar (“kalindaqda” dan perubahan ucapan kata-kata tertentu saat dinyanyikan).

Ketiga, bila mengharap pendapatan dari bermain “kacaping”, sangat sulit. Pemain “kacaping” hanya diundang pada even-even tertentu (misalnya festival, menyambut pejabat). Bila pun ada dari masyarakat umum, itu pun satu dua saja. “Pakkacaping” tidak lagi hiburan seperti dulu. Dia digantikan orkes, elekton, gambus, dan “sayangsayang”.

Meski demikian, Marayama pernah mengajarkan ilmu bermain “kacaping” ke beberapa orang, yaitu I Kanda (Lena, Galung Lombok), Cicciq Moreq (Lebukang), Jagariah (Pakkaqbang, Tandassura), Patima (Pakkaqbang, Tandassura), dan Indoq Sogo (Sossoq). Yang terakhir ini mungkin masih hidup, tapi sudah beberapa tahun Marayama tak pernah bertemu dengannya

Marayama juga pernah mengajar seorang “passayang-sayang”, tapi tidak lama sebab orang tersebut menganggap main kecapi sangat susah. Saat ini, Marayama menggunakan “kacaping”-nya yang keempat Menurutnya, “kacaping” itu dibuat di Kappung Lena (Galung Lombok) pada tahun 40-an, berbahan kayu “kuqmil” (nangka). Rata-rata kecaping tidak digunakan sebab kerusakan, bukan karena lapuk. Ada karena jatuh dari sandaran dan jatuh pas naik motor. Kecapi rawan rusak sebab kayunya amat tipis.

Yang menarik, menurut Marayama, senar “kacaping” yang paling bagus digunakan adalah kawat tali kopleng atau rem motor. Kuat katanya. Pernah juga dia menggunakan senar berbahan emas. Gara-gara ada orang Bugis pandai emas yang naksir pada dirinya.

Menurut Marayama, “kecaping” orang Bugis pendek-pendek. Juga lain bunyi dan juga bahasanya. Cara mainnya sering digendong pantatnya, sebab pendek. Beda cara main kecaping Mandar, pantat-nya disandarkan ke perut. Kecapi sebagai Jalan Hidup Yang harus dihargai pada diri Marayama adalah konsistensinya untuk terus menekuni permainan “kacaping” guna menghibur masyarakat yang mengundang atau memintanya. Dia terbukti menjadikan permainan musik kecapi sebagai jalan hidup.
Dia bisa dipastikan sebagai maestro dalam musik kecapi.
Dalam kebudayaan Mandar, khususnya unsur kesenian, Marayama adalah salah satu pewaris terakhir seni permainan “kacaping” yang dilakoni oleh wanita. Walau adiknya, Satuni, juga seorang pemain “kacaping” dan sering duet dengannya, ada kemampuan khas Marayama. Misalnya kekhasan suaranya, sedikit bariton dan saat menyanyi, setiap akhir bait ada lengkingan menyayat hati. Itu belum termasuk kemampuan sebagai seorang “pakkacaping” yang telah saya sebutkan sebelumnya, khususnya menyampaikan kisah-kisah lisan kepada pendengarnya.

Marayama dan pemain-pemain “kacaping” yang tersisa saat ini harus kita apresiasi dan hargai. Bentuknya beragam macam, bisa lewat pemberian penghargaan, mempelajari ilmu mereka, mendokumentasikan kemampuan dan kisah hidup mereka, maupun  emberi mereka banyak ruang untuk mengekspresikan permainan “kacaping”-nya.

Yang terakhir inilah yang sangat penting sebab itu berpengaruh nyata pada kelangsungan hidup dan generasi pemain “kacaping”. Sekedar informasi, tarif satu kali main (beberapa jam, sampai larut malam) per “pakkacaping”, tarifnya Rp 300.000 – Rp 500.000. Bandingkan dengan seorang pembicara di seminar yang hanya satu jam, tarifnya dari Rp 300.000 sampai jutaan. Jadi, tarif “pakkacaping” amatlah wajar.

Bila tak ada undangan untuk bermain “kacaping”, lambat laun “kacaping” akan mereka gantung untuk kemudian ilmu tak terwariskan. Sebab, tak ada generasi yang tertarik atau bercita-cita untuk menjadi sosok “pakkacaping”. Gilirannya, warisan masa lampau salah satu puncak berkesenian di Mandar akan hilang bersama lapuknya “kacaping-kacaping” anggun yang tak terpetik*)\

*) Dikutip dari Tulisan Muhammad Ridwan Alimuddin
Read More..