Rabu, 26 Januari 2011

TOMBO PALUA, AHLINYA “CALONG”


Tombo Palua namanya. Ia pandai menyanyikan lagu Mandar bergenre “tipalayo” dan “piondo”, yaitu lagu mendayu-dayu yang didendangkan seseorang yang merindukan kekasihnya atau saat menidurkan bayi. Tombo Palua (ada yang menulis Padzua atau Padhua) seorang seniman unik di Mandar. Bila berdasar kartu keluarga, dia lahir pada 1 Juli 1937. Dia meragukan persis lahir pada tanggal itu, tapi memang lahir di akhir tahun 30-an. Buktinya, ketika tentara Jepang hadir di Indonesia, dia sudah remaja.

Tombo Palua selalu mengenakan passappu. Ini adalah penutup kepala yang jamak digunakan kaum lelaki di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat di masa lalu. Saat ini hanya satu dua yang masih mengenakannya di Mandar. Jika ke Kajang, Bulukumba, kebiasaan mengenakan passappu ini masih terlihat di kalangan lelaki dewasanya.

Dalam seni tradisi Mandar, Tombo Palua bisa dikategorikan ahli. Selain menyanyi lagu-lagu kuno Mandar, juga lincah menari “denggoq”, memainkan alat musik “calong”, meniup “paluppung”, dan melucu bila beraksi di panggung. Itulah kekhasan Tombo atau akrab disapa “Kamaq Kardi” (nama anak pertamanya Kardi).

Tombo penari “denggoq” paling tua di Mandar. Tarian denggo’ amat bersahaja, tidak ada pakaian khusus bila akan menarikannya. Satu-satunya alat yang biasa dibawa pa’denggo’ yang juga merupakan salah satu sumber musik dalam menarikannya adalah dua pasang sendok makan (dulu menggunakan sendok porselen dari Cina). Sendok makan tersebut dimain-mainkan di kedua tangan sambil tubuh bergerak menari-nari. “Denggoq” bisa dimainkan di atas panggung atau di lapangan, khususnya ketika ada acara “saeyyang pattuqdu” (kuda penari).
Tampak benar karakter Tombo Palua ketika menari. Selain tubuh bergerak dinamis, matanya juga ikut menari-nari mirip penari Bali. Tapi mata Tombo Palua laksana mata lelaki yang menggoda sang gadis. Hal tersebut menjadikan tariannya selalu diselingi tawa penonton. Belum lagi bila Tombo Palua meniru-niru gerakan orang pincang. Tombo punya banyak saudara. Paling tidak dia memiliki 10 saudara dari isteri kedua bapaknya.
Dia sendiri semata wayang dari isteri pertama bapaknya. Bapaknya bernama Palua dan ibunya bernama Kamuq. Tombo Palua menikah pada zaman pemberontakan DI/TII  yang di Mandar dikenal dengan istilah “gorilla” di daerah pengungsian (pedalaman Mandar). Dari pernikahannya dengan Bacci’, Tombo Palua memiliki 7 anak, tiga di antaranya sudah meninggal dunia.
Pada tahun 1980-an, sebagaimana kebanyakan laki-laki Mandar, Tombo Palua pergi merantau ke Kalimantan Timur, yaitu di daerah Biduk-biduk. Selama lima tahun dia bekerja sebagai penggergaji kayu. Kemudian dia balik ke Mandar untuk berkebun coklat di daerah pedalaman. Lalu pada tahun 2006, dua seniman muda Mandar, Sahabuddin dan Dalif sewaktu masih kuliah di Universitas Negeri Makassar, menyadari peran penting Tombo Palua dalam khazanah kesenian tradisi Mandar. Maka Tombo Palua pun diajak turun gunung. Dia diminta mengajarkan teknik permainan dan sejarah “calong”, baik kepada mereka berdua maupun anak-anak sekolah dasar.
Disadari atau tidak, maraknya penggunaan alat musik “calong” dewasa ini, baik sebagai mata pelajaran kesenian di SD hingga permainan “calong” secara kolosal di PORDA I Sulawesi Barat beberapa tahun lalu tak lepas dari pewarisan ilmu Tombo. Muasal calong Sahabuddin Mahganna, etnomusikolog Mandar, pernah melakukan penelitian tentang alat musik “calong”, alat musik yang amat dikuasi Tombo Palua dan Tombo adalah informan penting dalam riset tersebut.
Menurut Ka’dara, dalam hasil penelitian Sahabuddin, “calong” itu “Tappa calong tomo tia disangangangi” (Memang langsung dinamakan “calong”) dan mengapa berbilah empat sebab “Keempat bilahan itu adalah simbol “Appeq Banua Kayyang”) (jumlah “banua” yang membentuk Arajang Balanipa, yaitu Mosso, Napo, Samasundu dan Todang-todang).
Adapun menurut Tombo menguraikan bahwa “calong” adalah simbol kebangsaan orang Balanipa, sebab melihat dari bentuk dan bagian instrumennya yakni pada bilahan dan ruang resonansinya. Dia juga tidak mengetahui orang pertama memberi nama itu. Tombo menambahkan, “Tillong-tillong tangnga wongi” (suara mendayudayu di tengah malam).
Bila menganggap “calong” identik dengan alat musik calung di Sunda, yang merupakan varian dari angklung agak kurang tepat. Angklung dimainkan dengan cara menggoyangnya sedang “calong” dipukul-pukul. Alat pemukul, berupa dua kayu kecil dipukulkan pada ruas-ruas bilah bambu yang tersusun menurut tangga nada pentatonik (da-mi-na-ti-la).
Informan Sahabuddin yang lain, yakni Sakai menguraikan, bahwa “calong” hadir bertepatan dengan adanya praktek petani atau pekebun Mandar yang mengisi waktu senggang di kala menjaga kebunnya.
Pendapat agak ilmiah dikemukakan pemain “calong” yang juga pengerajin tali di Lambe, Karama, yaitu Abdullah atau Kamaq Salding. Menurut orangtuanya, cikal bakal “calong” tidaklah menggunakan buah kelapa sebagai landasan bilah bambu atau ruang resonansi, tetapi di paha si pemain. Saat di rasa paha tidak maksimal, kaku dan  sakit dalam waktu lama, maka digunakanlah buah kelapa. Pendapat yang samadikemukakan oleh budayawan Nurdin Hamma.
Bila memang cikal bakal “calong” adalah hanya bilahan bambu yang diletakkan di antara kedua paha, itu mirip dengan alat musik yang di Bugis disebut “gandonggandong” sedang di Mandar istilahnya “gandi-ganding”.
Dan mengapa hanya empat bilah? Menurut saya, yang juga dituliskan Sahabuddin dalam hasil risetnya, bahwa irisan tempurung kelapa (yang akan menjadi ruang resonansi) hanya bisa menampung empat bilah (nada). Mungkin lain ceritanya bila ukuran kelapa di Mandar lebih besar dua kali lipat dengan yang sekarang; mungkin bilahnya lima atau enam.
Kesimpulannya, menurut Sahabuddin, alat musik “calong” adalah hasil pengembangan “gandi-ganding” yang diperkirakan sebelum abad ke-15. Sedangkan pengembangannya menjadi “calong” diperkirakan di awal peradaban Arajang Balanipa (abad ke-15). Disebut “calong”, mungkin berasal dari dua kata “caq” dan “long”. “Caq” itu bunyi yang dikeluarkan saat pemukul mengenai bilah dan “long” berasal dari kata “tillotillong” (suara mendayu-dayu) atau unsur bunyi alat musik yang menghantar getaran tabuh inti instrumen itu sendiri. Sedangkan “calong” secara terminologi adalah sebuah alat musik tradisional Mandar yang termasuk jenis musik idiofon. Berfungsi menciptakan suasana riang serta memberi isyarat terhadap sesama, baik itu di kebun maupun di lingkungan masyarakat.
Alat musik lain yang dikuasai Tombo adalah “palluppung” atau “keke” berukuran besar. Dalam bahasa Bugis disebut “panoni” atau “katinting”. Alat tiup ini semacam klarinet yang biasa dibuat pada musim panen dari batang padi yang dibuatkan lidahlidah getar dan dilengkapi corong dari daun kelapa. Alat musik ini juga jamak digunakan para petani dan penggembala kerbau di Mandar.

Hidup bersahaja
Saat ini Tombo Palua dan isterinya tidak berkebun lagi karena sudah tua. Mereka berdua bersama seorang anaknya kembali tinggal di Oting, dusun kecil berjarak 2 km dari jalan trans-Sulawesi (sekitar 285 km dari Makassar). Aktivitas kesehariannya membuat gerabah, mulai “pallu” (tungku), “balenga litaq” (panci berbahan tanah), hingga “panjjepang” (semacam piring dari tanah untuk digunakan membakar ampas ubi kayu yang akan dibuat makanan “jepa”).
Rumah Tombo Palua amat bersahaja. Ruang tamunya khas rumah kampung: satu set ranjang, di dinding tertempel beberapa foto artis bekas kalender, foto(kopian) ukuran kecil gambar Arung Palakka bersama wali, dan beberapa kalender tua, dan poster kampanye beberapa politikus.
Juga ada lemari yang berisi beberapa alat musik tradisional Mandar, foto-foto pementasannya, dan sepasang sepatu kulit. Di depan pintu masuk rumahnya terdapat
tiga set alat musik calong yang tampak ramai dengan hiasan benang warna-warni dan selembar bendara merah putih yang tampak jamuran.
Di tengah kesederhanaan rumahnya, itu tak membuat para pemerhati seni enggan datang berkunjung, baik bersilaturrahmi maupun untuk menuntu ilmu. Murid-murid Tombo yang saat ini telah mengabdi sebagai guru, misalnya Ishaq di SMA 2 Majene dan Sahabuddin di SMA 1 Tinambung, sering membawa datang siswa-siswanya untuk belajar langsung teknik dan sejarah musik “calong” dan keterampilan membuat alat rumah tangga dari tanah liat ke Tombo Palua. Tombo pun dengan senang hati menerima dan mewariskan ilmunya.
Tombo tidak hanya mengajarkan ilmu ke “timba yang mencari sumur”, tapi juga murid-murid yang dia rekrut langsung, yaitu anak-anak kecil di sekitar rumahnya, yang masih terhitung cucunya. Perangkat hadat dan artis Tak banyak yang tahu, di tengah sosok sederhananya, ternyata Tombo juga seorang perangkat adat Kerajaan Balanipa. Pada pelantikan Arajang Balanipa ke-54, Tombo termasuk orangtua yang menentukan protokoler acara. Dalam hadat, dia digelari “Tomabubeng Limboro”. Menurut Sjarbin Sjam (Bunga Rampai Kebudayaan Mandar dari Balanipa, 1997), Pepuangan dan Tomabubeng Limboro anggota Hadat Balanipa atau pemimpin “banua” yang tidak termasuk “Appeq Banua Kaeyyang” (Napo, Mosso, Samasundu, dan Todang-todang).
Intinya, peran Tombo Palua amat penting dalam beberapa prosesi budaya Kerajaan Balanipa dan sebagai tempat bertanya aturan-aturan tradisional untuk beberapa upacara. Sayangnya, saat ini, proses yang berdasar pola kepemimpinan tradisional tidak berjalan lagi, sehingga peran-perang perangkat hadat cenderung seremonial saja.
Di tengah posisinya sebagai seniman senior, penting, dan termasuk perangkat hadat Kerajaan Balanipa, tidak serta merta Tombo memiliki sikap egois. Sebaliknya, dia sangat membumi dan bergaul layaknya sahabat dengan seniman-seniman muda yang
bisa dianggap cucunya. Tombo hampir tak pernah menolak bila diundang memainkan keterampilannya, baik menari, menyanyi, hingga bermain musik.
Bukan hanya itu, bermain film pun Tombo Palua sudah pernah. Salah satu film yang diproduksi Komunitas Indie Tia berjudul 45!!! menjadikan Tombo Palua sebagai tokoh utama. Tombo diajak bermain sebab dia memang bisa akting, berbeda dengan seniman-seniman tua lainnya di Mandar.
Sebagai pemain musik dan penyanyi pun Tombo terlibat dalam pembuatan film dokumenter. Beberapa film fiksi dokumenter yang diproduksi Studio Teluk Mandarmenggunakan musik Tombo, baik nyanyian “tipalayo-nya”, tiupan “palluppung-nya” (45!!!, Tammejarra) maupun lagi penidur bayi (“Kanneq Sando”). Lalu pada tahun
2008, rumah produksi film dokumenter untuk acara film dokumenter di stasiun TV NHK, Jepang, pernah datang ke Mandar untuk merekam nyanyian “tipalayo” oleh Tombo dengan iringan permainan “kacaping” Ka’musa.

Penghargaan
Sebagai pekerja senin yang intens dijalani selama puluhan tahun, amat layak seorang Tombo Palua dihargai oleh pihak lain, baik pemerintah, pemerhati budaya, maupun generasi pelanjutnya. Pada Festival Seni Tradisional Sulawesi Selatan di Makassar pada 29-31 Desember 200 yang terlaksana atas kerjasaman Disbudpar Sulsel, Badan Kerjasama Kesenian Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan dengan Meditatif Audiovisual Documentation, Tombo Palua menerima penghargaan sebagai pemain alat musik tradisional “calong”. Waktu itu, Tombo direkomendasikan oleh Komunitas Seni Tradisi Assamalewuang Mandar yang digawangi Sahabuddin dan Dalip.
Kemudian pada September 2009, Tombo bersama seniman tradisi yang lain (Cammana, Marayama, Satuni, Ka’adara, dan Madan) kembali menerima penghargaan dari Forum Sipakaraya, yaitu Anugerah Sipakaraya. Anugerah tersebut didedikasikan untuk para individu atau organisasi yang terbukti mengabdikan dirinya pada bidang-bidang tertentu, mulai dari dunia seni, pendidikan, teknologi, dan lingkungan hidup. Adapun Forum Sipakaraya adalah organisasi yang menghimpun beberapa lembaga kesenian di Tinambung dan sekitarnya yang peduli pada sikap saling menghargai dan bekerja sama dalam pengembangan dan pelestarian dunia senibudaya Mandar.
Kehidupan dan keterampilan sosok seperti Tombo Palua adalah harta tak bernilai. Ironisnya, Tombo Palua dan seniman yang menggeluti alat-alat seni tradisional, banyak yang terpinggirkan. Mereka hanya dijadikan sebagai penghibur, misalnya penyambutan pejabat. Ya, mereka adalah penghibur, tapi sejatinya mereka menjadi bagian mata rantai dari tradisi berkesenian yang berawal ratusan tahun lalu.
Bukan hanya itu, pengetahuan yang mereka miliki bisa menjadi salah satu sumber inspirasai dalam mempelajari persilangan budaya di nusantara. Seorang Tombo Palua
memang bukan hanya milik orang Mandar

*)  Dikuti dari Tulisan  Ridwan AlimuddinMuhammad
Read More..

Minggu, 23 Januari 2011

Marayama, “Pakkacaping Tobaine” Terakhir


Marayama seorang maestro permainan musik “kacaping”. Saat ini, bila melihat posturnya, mungkin tak terbayangkan beliau seorang pemain kecapi dan penyanyi lihai. Tubuhnya renta, bungkuk, kulit berkeriput, khas orangtua. Tampak lemah. Tapi bila dia menggendong kecapi untuk kemudian memetik dawainya sambil bernyanyi, ada energi besar yang memancar. Ya, itu ciri khas para maestro. Seperti

almarhum Ma’ Coppong, tubuhnya sangat lemah, tapi ketika menari, dia bagai sosok seorang gadis muda.

Saat ini, Marayama tinggal di tengah “hutan” kebun coklat dan pohon kelapa, di kaki Bukit Timbu-timbu. Bila tak tanya-tanya, untuk menemukan rumahnya agak susah. Menuju rumahnya, bila dari Tinambung naik kendaraan bermotor melewati Desa Galung Lombok, Desa Renggeang, kemudian Desa Tandassura (sekitar 10km dari jalan trans Sulawesi di Desa Tandung). Antara mesjid dengan SD Tandassura, ada jalan setapak bercabang ke tengah ‘rimba’ kebun. Jalan berkelok-kelok, melalui satu-dua rumah panggung. Sekitar 300m dari jalan poros Tandassura atau 1km dari Sungai Mandar, rumah kayu sederhana Marayama terdapat.

Di sekitar rumahnya terdapat rumah kerabatnya, termasuk saudara perempuannya , Satuni. Rumah Marayama amat bersahaja. Hampir semuanya kayu, berbahan bambu,
kecuali dinding depan rumah berbahan seng. Pun tak ada listrik dirumahnya. Jadi bila malam hari menggunakan lampu minyak sebagai penerang. Marayama tidak tahu persis kapan dia lahir. Tapi dia sudah kanak-kanak saat penjajahan Jepang. Jadi saya perkirakan dia lahir pada tahun 30-an, era pakkacaping legendari, I Pasoq. Jadi kira-kira umurnya saat ini sekitar 80 tahun. Keluarga Marayama mempunyai beberapa saudara, semuanya bisa bermain kecaping. Mereka adalah I Yasi (perempuan), Lemba (laki-laki), Marayama, Satuni, Sapa (laki-laki, tahu main kecaping tapi tidak menjalani sebagai pekerjaan).

Dari sekian bersaudara, kakak tertua (I Yasi) yang paling ahli main kecaping. Walau kedua orangtua  Marayama bisa bermain kecaping, tapi I Yasi-lah yang mengajari adik-adiknya bermain kecaping. Bapak Marayama bernama I Jalaq (dari Kambaqjawa, Samasundu), ibunya bernama Maliaya (Galung, Majene). Sebab pergi berkebun, makanya pindah ke tempat sekarang. Sebelumnya tinggal di Renggeang, tempat Marayama lahir. Kedua orangtua Marayama juga tidak menjadikan kecaping sebagai jalan hidup. Beda
dengan kakek Marayama. Dia seorang “paqgeso”, alat musik kuno khas Sulawesi Selatan dan Barat. Alat musik ini seperti biola, digesek-gesek. Biasa dimainkan di acara-acara sunatan, pernikahan. Saat ini alat musik tersebut telah punah.
Kakek Marayama bernama I Roa, orangtuanya (buyut Marayama) berasal dari Lombok dan Salabose (Majene). Selain seorang “paqgeso”, juga pembuat kecapi. Jadi waktu Marayama kecil, telah ada benda-benda yang menjadi teman hidupnya sampai tua. Selain dari orangtua dan kakaknya, Marayama juga mendapat pengaruh bermain “kacaping” dari kerabat yang masih terhitung pamannya, yakni Sumaati. Juga dari I Cicci, saudara ibunya. I Cicci ini punya kelebihan bermain kecaping siapapun teman duetnya, baik laki-laki maupun perempuan.

Di masa-masa tuanya, I Cicci hidup bersama Marayama. Ketika I Cicci kena stroke (lumpuh separuh) saat buang air di kebun, Marayama (yang sudah tua waktu itu) pergi menolongnya. Selain mewarisi ilmu “makkacaping”, kepada Marayama, I Cicci juga mewarisi sebuah kecaping kuno yang saat ini tergantung di ruang tengah (dapur) Marayama. Suami pertama bernama Ba’durramang, anak buah Bandru (pimpinan “gorilla” yang sangat terkenal). Ba’durramang tewas di Kayumate, Mamuju. Awalnya Marayama ikut suaminya ke Mamuju, tapi dia balik ke Majene. Beberapa lama kemudian ada kabar suaminya tewas oleh pasukan Bugis, pimpinan Salla Kalluq, kena malam Ahad. Kemudian Marayama kawin lagi dengan Ba’as tapi cerai sebab si Ba’as suka kawin cerai. Baik Ba’durramang maupun Ba’as orang Tandassura. Waktu bersama Ba’durramang, Marayama tinggal di Puppengaq. Dari pernikahannya, Marayama tidak memiliki keturunan. Itulah musabab dia disappa “Kanneq Manang” (manang = tamanang, mandul). Mungkin generasi sekarang itu seperti ejekan, tapi sebenarnya hal yang umum. Malah ada raja di Mandar yang namanya berdasar pada kekurangan dirinya, misalnya Tokape dan Andi Depu (kata “depu” berasal dari kata “arepus” yang berarti jelek). Era sebelum tahun 90-an, apalagi waktu itu beberapa tempat di Mandar masih sangat terpencil, pergi bermain “kacaping” adalah tantangan tersendiri. Untuk itu, setiap pergi, apalagi di saat Marayama masih seorang gadis, biasa diantar bapaknya. Untuk bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya biasa pergi berhari-hari, berminggu-minggu. Dulu belum marak kendaraan bermotor, jadi mereka lebih sering pergi dengan berjalan kaki apalagi bila ke pedalaman Mandar, misalnya Ratte Kallang, Tu’bi dan lain-lain. Dulu, perjalanan dan permainan mereka dihargai dengan ringgit, sekarang dengan rupiah dan sesekali tambahan hasil kebun.
Sebagai Jalan Hidup Dalam bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya sering diserang ilmu hitam.

Pernah suatu waktu saat bermain di Tu’bi, saat bermain, Marayama merasakan dirinya dililit ular besar. Dia berkata kepada Satuni bahwa dirinya sedang dililit ular, tapi Satuni tak melihat ada ular ditubuh kakaknya. Lain waktu, sering ada beterbangan cahaya mirip bara tempurung di sekitar mereka. “Kacaping” biasa tiba-tiba menghilang tapi bunyi terdengar. Tikar bermain “kacaping” pun sering dijadikan media untuk menyerang mereka kala bermain “kacaping”. Tikar langsung tergulung dan bantal (yang biasa digunakan untuk menyanggah paha saat bermain) tiba-tiba seperti benda hidup, antar bantal bertarung satu sama lain. Secara fisik pun sering diserang. Tubuh sampai sakit dan mencret-mencret bila pulang ke rumah. Tapi Marayama dan Satuni bangga, walau sering diserang, untuk sampai menyerah atau stop bermain gara-gara ilmu hitam, belum pernah. Ya, walau diserbu terus, mereka tetap memetik dawai-dawai “kacaping”-nya, mirip salah satu adegan di film Kungfu Hustle. Selain disebabkan ilmu hitam, hal lain yang sering mengancam jiwa Marayama dan Satuni bila pergi bermain “kacaping” adalah perkelahian antar penonton. Hal umum di Mandar, pada tahun-tahun sebelum 80-an, setiap acara keramaian biasanya ada perkelahian yang berakhir pada aksi baku tikam. Pemali “Dilarang keras melangkahi”, ungkap Marayama tentang pemali pada “kecaping”. Bukan hanya itu, “kacaping” juga memiliki “kekuatan” yang bisa membuat orang kualat atau celaka. Bila sesorang membuat sebuah nazar (janji), misalnya, kalau saya memiliki kerbau saya akan mengundang “pakkacaping”. Bila nazar itu tak dipenuhi, dia akan sakit. Dalam waktu yang bersamaan, kecapi di rumah Marayama akan “tegang dawainya, sering berbunyi”. Itu adalah tanda ada yang belum memenuhi nazarnya, ada yang sakit. Sebagai obatnya, mengundang “pakkacaping” main. Juga, bila ada pemain kecapi lewat di depan rumah sambil membawa kecapi-nya, lalu ada yang menyapa “Singgah-lah” lalu dibalas si pemain kecapi “Tidak usah”, maka yang menyapa/mengundang akan sakit. Agar terhindar dari sakit atau sembuh, harus
mengundang “pakkacaping”.

Untuk itulah tidak usah menyapa “pakkacaping” yang sedang lewat. Tapi kalau mereka tidak bawa  kecapi-nya, tidak apa-apa. Juga tidak apa-apa bila si pemain kecapi itu memang betul singgah.
Penghargaan Pada tahun 40-an, Marayama dan I Tage pernah mendapat penghargaan Peniti Perak dari pemerintah Distrik Tenggelang (Puang Tenggelang Hamma) pada tahun 40-an di Kampung Lambe Lotong, Desa Sumarrang (Kecamatan Campalagian saat ini). Lebih lima dekade kemudian, Marayama [bersama Cammana (pemain rebana), Tombo Palua (penari, pemain calong, penyanyi), Ka’dara (pemain kecaping, peniup keke, pemain calong), dan Ma’dang (guru silat)] mendapat penghargaan Anugerah
Sipakaraya dari Forum Sipakaraya di Tinambung (September 2009).
Selain menyebut pemerintah sebagai pihak yang selalu mengundang mereka bermain “kacaping”, di luar undangan oleh masyarakat umum, Marayama juga biasa ke Makassar atas undangan Arajang, yakni Andi Depu. Memang Andi Depu sebagai Arajang Balanipa pernah lama di Makassar, sebagai bagian dari strategi perjuangan melawan Belanda. Tak ada regenerasi “Sekarang tak ada yang mau belajar “kacaping””, ungkap Marayama saat ditanya regenerasi pemain “kacaping”. Dibanding Cammana dalam permainan rebana, regenerasi pemain “kacaping” sangat jauh tertinggal. Itu disebabkan banyak hal.
Pertama adalah minat generasi muda, khususnya perempuan, untuk menjadi pemain “kacaping” hampir mustahil saat ini. Kedua, untuk menjadi seorang pemain “kacaping” butuh waktu lama. Bukan hanya itu, dia juga harus bisa menyanyi.  Menyanyinya pun tidak seperti menghapal lagu pada umumnya, tapi pada
improvisasi, kemampuan memori mengingat kisah-kisah tertentu, dan pengetahuan dalam sastra Mandar (“kalindaqda” dan perubahan ucapan kata-kata tertentu saat dinyanyikan).

Ketiga, bila mengharap pendapatan dari bermain “kacaping”, sangat sulit. Pemain “kacaping” hanya diundang pada even-even tertentu (misalnya festival, menyambut pejabat). Bila pun ada dari masyarakat umum, itu pun satu dua saja. “Pakkacaping” tidak lagi hiburan seperti dulu. Dia digantikan orkes, elekton, gambus, dan “sayangsayang”.

Meski demikian, Marayama pernah mengajarkan ilmu bermain “kacaping” ke beberapa orang, yaitu I Kanda (Lena, Galung Lombok), Cicciq Moreq (Lebukang), Jagariah (Pakkaqbang, Tandassura), Patima (Pakkaqbang, Tandassura), dan Indoq Sogo (Sossoq). Yang terakhir ini mungkin masih hidup, tapi sudah beberapa tahun Marayama tak pernah bertemu dengannya

Marayama juga pernah mengajar seorang “passayang-sayang”, tapi tidak lama sebab orang tersebut menganggap main kecapi sangat susah. Saat ini, Marayama menggunakan “kacaping”-nya yang keempat Menurutnya, “kacaping” itu dibuat di Kappung Lena (Galung Lombok) pada tahun 40-an, berbahan kayu “kuqmil” (nangka). Rata-rata kecaping tidak digunakan sebab kerusakan, bukan karena lapuk. Ada karena jatuh dari sandaran dan jatuh pas naik motor. Kecapi rawan rusak sebab kayunya amat tipis.

Yang menarik, menurut Marayama, senar “kacaping” yang paling bagus digunakan adalah kawat tali kopleng atau rem motor. Kuat katanya. Pernah juga dia menggunakan senar berbahan emas. Gara-gara ada orang Bugis pandai emas yang naksir pada dirinya.

Menurut Marayama, “kecaping” orang Bugis pendek-pendek. Juga lain bunyi dan juga bahasanya. Cara mainnya sering digendong pantatnya, sebab pendek. Beda cara main kecaping Mandar, pantat-nya disandarkan ke perut. Kecapi sebagai Jalan Hidup Yang harus dihargai pada diri Marayama adalah konsistensinya untuk terus menekuni permainan “kacaping” guna menghibur masyarakat yang mengundang atau memintanya. Dia terbukti menjadikan permainan musik kecapi sebagai jalan hidup.
Dia bisa dipastikan sebagai maestro dalam musik kecapi.
Dalam kebudayaan Mandar, khususnya unsur kesenian, Marayama adalah salah satu pewaris terakhir seni permainan “kacaping” yang dilakoni oleh wanita. Walau adiknya, Satuni, juga seorang pemain “kacaping” dan sering duet dengannya, ada kemampuan khas Marayama. Misalnya kekhasan suaranya, sedikit bariton dan saat menyanyi, setiap akhir bait ada lengkingan menyayat hati. Itu belum termasuk kemampuan sebagai seorang “pakkacaping” yang telah saya sebutkan sebelumnya, khususnya menyampaikan kisah-kisah lisan kepada pendengarnya.

Marayama dan pemain-pemain “kacaping” yang tersisa saat ini harus kita apresiasi dan hargai. Bentuknya beragam macam, bisa lewat pemberian penghargaan, mempelajari ilmu mereka, mendokumentasikan kemampuan dan kisah hidup mereka, maupun  emberi mereka banyak ruang untuk mengekspresikan permainan “kacaping”-nya.

Yang terakhir inilah yang sangat penting sebab itu berpengaruh nyata pada kelangsungan hidup dan generasi pemain “kacaping”. Sekedar informasi, tarif satu kali main (beberapa jam, sampai larut malam) per “pakkacaping”, tarifnya Rp 300.000 – Rp 500.000. Bandingkan dengan seorang pembicara di seminar yang hanya satu jam, tarifnya dari Rp 300.000 sampai jutaan. Jadi, tarif “pakkacaping” amatlah wajar.

Bila tak ada undangan untuk bermain “kacaping”, lambat laun “kacaping” akan mereka gantung untuk kemudian ilmu tak terwariskan. Sebab, tak ada generasi yang tertarik atau bercita-cita untuk menjadi sosok “pakkacaping”. Gilirannya, warisan masa lampau salah satu puncak berkesenian di Mandar akan hilang bersama lapuknya “kacaping-kacaping” anggun yang tak terpetik*)\

*) Dikutip dari Tulisan Muhammad Ridwan Alimuddin
Read More..

Kamis, 20 Januari 2011

HIKAYAT TO SALAMA DI BINUANG


To Salama di Binuang atau Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah seorang Waliyullah yang pernah hidup di tanah Mandar pada abad XV seperti wali-wali Allah di wilayah lain, Beliau juga menyiarkan agama Islam di wilayah Binuang yang pada waktu itu diperintahkan oleh Raja IV Sipajollangi.
        Kisah tentang perjuangan serta kekeramatan To Salama di Binuang terus berlanjut hingga turun temurun dan tampaknya menjadi legenda tersendiri di kalangan masyarakat yang bermukim di Pulau Tangnga, tempat beliau dan kedua muridnya dimakamkan.

        Catatan sejarah yang termaktub dalam naskah lontara Napo Mandar pada halaman 123 menyebutkan “Iamodi’e pa’anna na sura’ituan di Benuange lamo mepasallang…”. Maksud dari naskah itu, “ inilah surat Tuan di Binuang. Beliaulah yang mengislamkan kami…”.
        Hikayat tentang Waliyullah Kharismatik ini kemudian dibukukan oleh tokoh sejarah Mandar, Drs.M.T.Azis Syah pada tahun 1994.
KEAJAIBAN ORANG BERJUBAH HITAM
        Konon di suatu kampung yang bernama Penanian (Bate Tangnga), ketika itu menjelang tengah malam Jumat, Tomakaka Penanian sedang duduk seorang diri di rumah-rumah kebunnya untuk menjaga isi kebunnya dari serangan babi hutan.
        Dari arah langit tiba-tiba turun cahaya tegak lurus yang sangat terang. Saking terangnya, orang Mirring dan takatidung menyangka istana Raja Sipajollangi terbakar. Tomakaka Penanian yang melihat dengan dekat cahaya itu langsung merasakan pusing dan akhirnya jatuh pingsan.
        Disaat Tomakaka Penanian siuman, ia tidak melihat lagi cahaya yang membuatnya pusing itu, akan tetapi dihadapannya telah berdiri  berjubah hitam dan bersurban hijau. Orang itu kemudian berkata; hai Tomakaka, Kasihanilah saya. Kiranya engkau mau menerima saya untuk menumpang di rumahmu. Saya bersedia membantu mengerjakan kebunmu, bahkan ke lautpun mencari ikan saya mau.
        Mendengar ucapan itu, Tomakaka Penanian berkata, “ saya akan sangat senang jika engkau mau tinggal di rumahku. Tetapi sebelumnya, saya ingin mengetahui engkau ini siapa, dan berasal dari mana.”
        Orang berjubah itu menjawab, “ pertanyaan Tomakaka itu sulit saya jawab, sebab saya sendiri tidak tahu. Yang saya tahu, saya telah berada di kebun ini, siapa aku ini, tidak usah dulu kau ketahui.”
        Mengetahui jawaban orang berjubah hitam itu, Tomakaka tidak melanjutkan lagi pertanyaannya. Setelah itu, Tomakaka Penanian dan orang berjubah hitam itu tinggal serumah.
        Semenjak orang berjubah hitam itu tinggal di rumah Tomakaka, terjadi keajaiban kepada kehidupan Tomakaka. Kebun yang digarap orang berjubah hitam itu dalam waktu singkat menghasilkan isi yang melimpah ruah hingga kebunnya bertambah luas.
        Disamping itu, Tomakaka dan orang-orang dikampungnya sering menyaksikan hal-hal yang menakjubkan dari orang berjubah hitam itu, antara lain pada waktu hujan lebat, orang berjubah hitam itu bolak balik dari rumah ke kebun, tetapi tidak sedikitpun pakaiannya yang basah.
        Tomakaka dan warganya juga sering melihat orang berjubah hitam itu duduk bersimpuh, bertafakkur serta bertasbih di atas daun dari pohon pisang yang masih tumbuh. Setelah berdoa, ia lalu turun dari atas pohon pisang tersebut.
        Yang aneh lagi, Tomakaka bersama beliau ke laut untuk menangkap ikan. Beliau akan berjalan di atas air dan kakinya sedikitpun tidak basah. Ikan-ikan tiba-tiba saja menjadi jinak dan bernanung di bawah kakinya. Beliau tinggal memilih mana yang diambilnya.
RAJA SIPAJOLLANGI PANGGIL ORANG BERJUBAH
        Keajaiban lain yang dimiliki oleh orang berjubah hitam yang tidak lain adalah Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah jika beliau sedang tidur, tubuhnya tidak merapat di atas tikar, melinkan satu jengkal di atasnya, seperti terapung di udara.
        Jika Syekh Abdurrahim Kamaluddin hendak ke pulau  sekitar Binuang, ia hanya memanjatkan doa kepada Allah. Setelah itu, karena kekuasaan Allah, pulau yang hendak dituju oleh beliau itu mendekat sehingga dengan sekali melangkah, beluai sudah berada di seberang.
        Ha-hal luar biasa yang terjadi pada Syekh Abdurrahim kamaluddin ini kemudian menjadi bahan pembicaraan orang banyak, hingga cerita tersebut terdengar oleh Raja Sipajollangi, akan tetapi waktu itu, Raja Sipajollangi hanya mengacuhkan cerita tersebut. Akan tetapi Pendududk yang bertempat tinggal di sekitar Penanian dan Mirring, (Ulu Bate) semakin sering menceritakan kisah-kisah tersebut. Raja Sipajollangi akhirnya dibuat penasaran. Raja Sipajollangi merasa curiga terhadap tamu Tomakaka itu. Raja menyangka bahwa orang berjubah hitam tersebut adalah seorang penyihir. Ia pun kemudian memanggil untuk menguji kebolehan Syekh Abdurrahim Kamaluddin.
        Tomakaka Penanian beserta Syekh Abdurrahim Kamaluddin tiba di Istana. Raja Sipajollangi lalu memerintahkan kedua putrinya untuk maju ke depan. Seorang diantara putri raja itu sudah bersuami dan tengah hamil dua bulan, sehingga perutnya belum kelihatan sedang mengandung. Sedang yang satunya masih perawan duduk di sebelah kanan kakaknya.
        Raja Sipajollangi kemudian meminta Syekh Abdurrahim Kamaluddin untuk menebak siapa putri yang mengandung. Karena kekeramatannya, beliau sudah mengetahui bahwa Raja hendak mengujinya. Bahkan ia sudah tahu bahwa putri yang duduk disebelah kirilah yang sedang mengandung.
        Syekh Abdurrahim Kamaluddin lalu berdoa kepada Allah agar putri yang masih perawan itu hamil. Setelah berdoa, beliau lalu menunjuk bahwa putri yang sedang hamil duduk di sebelah kanan.
        Raja yang merasa yakin bahwa putri yang ditunjuk Syekh Abdurrahim Kamaluddin adalah putrinya yang masih perawan akhirnya menjadi murka. Syekh Abdurrahim kamaluddin mengetahui raja Sipajollangi marah kepadanya. Beliau kemudian segera memohon diri. Sewaktu beliau melangkah turun dari tangga Istana. Raja Sipajollangi menyaksikan kaki beliau tidak menyentuh anak tangga melainkan satu jengkal di atasnya.
NEGERI BINUANG DITIMPA MUSIBAH
        Beberapa hari setelah pertemuan Syekh Abdurrahim Kamaluddin dan raja di istana. Syekh Abdurrahim Kamaluddin memohon diri kepada Tomakaka Penanian, beliau akan menuju ke negeri Tammajarra ( wilayah Tinambung) untuk menemui Raja Balanipa IV, Daetta Kenna I Pattang.
        Sesampainya di negeri Tammajarra, beliau lalu mengutarakan maksud kedatangannya kepada Raja Balanipa, yaitu menyebarkan agama Islam kepada Raja Balanipa. Raja Balanipa menerima dengan baik maksud kedatangan Syekh Abdurrahim Kamaluddin ini. Beliau lalu diizinkan tinggal di Istana. Syekh Abdurrahim Kamaluddin kemudian memulai dakwahnya.
        Sementara itu, sejak kepergian Syekh Abdurrahim Kamaluddin dari negeri Binuang. Negeri tersebut tiba-tiba saja ditimpa berbagai macam musibah. Mulai dari wabah penyakit yang mematikan tumbuhan hingga penduduk Binuang, rakyat menjadi sengsara, mulai pagi sampai sore, pasti ada saja penduduk yang meninggal. Yang datang mengubur, sebentar gilirannya pula dikubur. Putri raja yang tadinya perawan karena Kekuasaan Allah menjadi benar-benar hamil. Putri raja ini sering mengalami tanda kehamilan yang tidak wajar dan selalu mengigau menyebut-nyebut nama tamu Tomakaka Penanian. Putri Raja itu betul-betul sangat tersiksa.
        Melihat keadaan ini. Raja Sipajollangi Kebingungan. Semua dukun, Pelalai, Pajuntai yang piawai sudah dipanggil untuk mengobati sang putri. Tetapi tak satupun yang berhasil. Seorang ahli nujum kemudian menyarankan kepada Raja Sipajollangi untuk mencari seseorang yang pernah tinggal dirumah Tomakaka Penanian.
        “Menurut ramalan saya, satu-satunya orang yang bisa menyembuhkan putri raja dan menyelamatkan rakyat kita disini adalah orang yang pernah tinggal di rumah Tomakaka Penanian” ujar ahli nujum.
        Tomakaka Penanian akhirnya diminta untuk memberi  tahu keberadaan Syekh Abdurrahim Kamaluddin. Tomakaka kemudian memberi tahu bahwa tamunya itu sedang berada di Tammajarra.
        Raja Sipajollangi lalu mengutus orang untuk mencari Syekh Abdurrahim kamaluddin dan berkata “jika kalian telah bertemu dengan beliau, sampaikan kepadanya bahwa Raja telah menjanjikan Putri beliau I We Tenri Pada, kalau sekiranya ia dapat menyembuhkan penyakitnya.
        Utusan raja lalu berangkat ke negeri Tammajarra. Setelah menempuh perjalanan selama enam hari tujuh malam, akhirnya utusan Raja yang dipimpin oleh Lamakarra bertemu dengan Syekh Abdurrahim Kamaluddin.
PUTRI DAN RAKYAT BINUANG DISEMBUHKAN
        Syekh Abdurrahim Kamaluddin kemudian bertanya “ada keperluan apa kalian datang kemari”, Lamakarra yang menjadi pimpinan rombongan menjawab “kami diutus Raja Binuang, Beliau meminta pertolongan tuan. Kalau penyakit putrinya sembuh, Tuan akan dinikahkan dengan putri itu.”
        Syekh Abdurrahim kamaluddin diam sejenak, lalu beliau berkata “Agama Islam mengajarkan untuk menghormati tamu apalagi yang datang dari jauh, aku tidak akan sampai hati mengecewakan kalian serta Raja Binuang, katakan pada Raja, aku akan kesana untuk melakukan apa yang bisa kulakukan, berangkatlah kalian kesana.”  
        Mendengar perkataan tersebut, Lamakarra menjadi puas. Dia beserta rombogannua segera meninggalkan Syekh Abdurrahim Kamaluddin dan kembali ke Negeri Binuang. Mereka harus kembali menempuh perjalanan selama enam hari tujuh malam.
        Alangkah terkejutnya Lamakarra ketika sampai di Soraja (Istana) Binuang, sebab suasana di Soraja begitu meriah, padahal sejak ia dan rombongannya meninggalkan tempat itu dua minggu yang lalu, tempat tersebut hanya diselimuti oleh kesedihan dan kemuraman.
        Setelah dia selidiki, ternyata Raja Sipajollangi tengah merayakan ketujuh hari pesta pernikahan putrinya dengan Syekh Abdurrahim Kamaluddin.
        Lamakarra tak percaya dengan kenyataan ini sebab enam hari yang lalu ia masih melihat Syekh Abdurrahim Kamaluddin di tammajarra. Di segera menghadap kepada Raja Sipajollangi.
        Raja Sipajollangi berkata “kemana saja kau Lamakarra”. Lamakarra menjawab “hamba baru saja tiba dari negeri Tammajarra.” Raja bertanya lagi “berapa lama waktu yang kau butuhkan  untuk sampai di Tammajarra” Lamakarra menjawab “enam hari tujuh malam tuan”.
        Raja Sipajollangi berkata “sungguh aneh, pada hari pertama kau berangkat ke Tammajarra orang berjubah itu sudah sampai disini, bahkan ia telah menyembuhkan putriku dan sesuai janjiku ia lalu kunikahkan dengan I We Tenri Pada”.
        Lamakarra semakin tidak percaya, ia kemudian mengajak beberapa pengawala untuk menemui mempelai pria. Dia khawatir jangan-jangan ada orang asing yang mengaku sebagai Syekh Abdurrahim Kamaluddin. Setelah bertemu dengan mempelai pria barulah Lamakarra merasa yakin bahwa mempelai pria itu benar-benar Syekh Abdurrahim Kamaluddin.

MELIHAT KA’BAH DARI MASJID BINUANG
        Kurang lebih setahun kemudian, dua orang Muballigh datang kepada Tuan di Binuang, mereka bermaksud menjadi murid tuan di Binuang dan bersedia membantu menyiarkan Agama Islam.
        Muballigh pertama bernama Syech Al Magribi, seorang sufi dan ahli kenegaraan yang berasal dari Maroko. Yang kedua bernama Syech Al Ma’ruf dia juga seorang sufi dan ahli dalam masalah pertanian dan bangunan. Dia berasal dari wilayah Samarkhan dekat Bukhara, Rusia Selatan.
        Makin hari, makin terkenal pula kedua Muballigh tersebut karena selain ketepatan metode dakwahnya, juga kekeramatan yang mereka miliki, maka dari itu dalam kurun waktu singkat mereka sudah berhasil merangkul banyak pengikut.
        Dengan demikian nama Tuan di Binuang pun kian tersohor di berbagai kalangan, kedua muridnya itu menggelar beliau “Waliyullah”. Negeri Binuang akhirnya popular sebagai pusat pengembangan Agama Islam di Tanah Mandar.
        Seperti gelar To salama di Binuang yang diberi oleh rakyat Binuang kepada Syekh Abdurrahim kamaluddin, kedua murid To Salama di Binuang juga memperoleh gelar karena kekeramatannya yang dimiliki. Syech Al Ma’ruf dikenal dengan gelaran Saiyye Losa dan Syech Al Magribi dikenal dengan Saiyye Kitta.
        Gelar Saiyye Losa yang diberikan kepada Syech Al Ma’ruf bermula ketika Raja Binuang dan Tuan Binuang merencanakan untuk membangun Masjid Pertama di kerajaan Binuang. Pada waktu itu, struktur rancangan bangunnya diserahkan kepada syaech al Ma’ruf yang memang ahli di bidang tersebut.
        Setelah masjid itu selesai dibangun, sekelompok jemaah masjid meragukan arah kiblat masjid tersebut. Hal ini kemudian mereka adukan kepada Syech Al Ma’ruf. Syech Al Ma’ruf terdiam sejenak. Ia kemudian berjalan menuju tembok bagian barat masjid dan melubanginya setelah melubangi tembok ini ia lalu memanggil para jemaah dan meminta mereka untuk mengintip ke lubang yang baru beliau buat.
        Syech Al Ma’ruf bertanya “apa yang kalian lihat disana” secara serentak para jemaah menjawab “Ka’bah..!!!!!”. sejak saat itulah rakyat Binuang semakin segan kepada beliau. Itulh sebabnya Syech Al Ma’ruf diberi gelar saiyye Losa yang berarti Orang Yang Bisa Menembus apapun dengan penglihatannya.
ASAL MULA ‘BUJUNG MANURUNG’
        Ketenaran To Salama di Binuang khususnya kekeramatan Beliau akhirnya sampai ke telinga seorang ahli sihir yang juga kepala rampok (Paeloa’) di Tammangalle. Ia berniat ke negeri Binuang untuk menjajal kesaktian Tuan di Binuang.
        Ahli sihir ini kemudian berlayar ke negeri binuang . ketika sampai ditengah lautan, tiba-tiba cuaca  yang tadinya  normal berubah menjadi ekstrim. Badai serta gelombang laut silih berganti dan menghantam apapun yang berada di lautan saat itu, termasuk perahu yang digunakan ahli sihir.
        Akhirnya perahu tersebut karam, begitujuga dengan kitab-kitab yang berisi ilmu gaib yang sekiranya akan menjadi andalan ahli sihir untuk menjajal kesaktian Tuan di Binuang. Ahli sihir itu sendiri pingsan akibat pukulan ombak yang sangat dahsyat.
        Setelah beberapa saat, ahli sihir pun siuman, ia sadar telah berada di tepi pantai Takatidung. Ahli sihir itu kebingungan dan berjalan tak tentu arah. Tiba-tiba ia melihat lelaki setengah baya menggunakan  jubah putih sedang berjalan di tepi pantai.
        Ahli sihir kemudian mengahampirinya. Dia lalu bertanya, “hai orang berjubah!,apa nama daerah ini, “ Lelaki berjubah tidak menjawab, ia malah menancapkan tongkatnya di depan ahli sihir itu.
        Lelaki berjubah kemudian menjawab,” Nama daerah ini adalah Binuang,apa yang tuan cari di tempat ini, “. Ahli sihir menjawab, “Saya hendak mencari Tuan di Binuang, “. Lelaki berjubah bertanya lagi, “ada keperluan apa tuan mencarinya, Saya adalah murid beliau, nama Al –Magriby, “.ahli sihir berkata” sebenarnya aku hendak menantang. Adu ilmu gaib. Tapi sayang, kitab-kitab saya yng berisi ilmu gaib telah tenggelam ke dasar laut.”
        Lelaki berjubah ternyata adalah Syech Al-Magriby kemudian mencabut tongkatnya. bersamaan dengan itu,dari lubang bekas tancapan tongkat Syech Al-Magriby itu tiba-tiba memancar air jernih dengan derasnya. Ahli sihir ini terkejut bukan main,sebab air tersebut membawa kitab-kitabnya yang telah hanyut didasar laut.
        Ahli sihir itu akhirnya merenung. ia berpikir, kalau muridnya saja sudah sesakti ini, tentu gurunya lebih sakti lagi. Ahli sihir akhirnya mengurungkan niatnya ke Binuang untuk menantang tuan di Binuang. Ahli sihir itu lalu bersimpuh di hadapan Syech Al-Magriby. Dia lalu meminta Syech Al-Magriby untuk menuntunnya mengucapkan dua kalimat syahadat.
        Bekas lubang yang diakibatkan oleh tancapan tongkat syech Al-magribi lama-kelamaan menjadi sumur. Masyarakat setempat lalu menamainya dengan ‘Bujung Manurung’ atau sumur yang diciptakan seorang yang memiliki karamah.
AGAMA ISLAM MENYEBAR DI TANAH MANDAR
        Kekeramatan yang dimiliki oleh kedua murid Tuan di Binuang ini membuat rakyat Binuang semakin takjub serta segan kepada mereka. Kedua murid plus muballigh ini membuat Tuan di Binuang mengajarkan agama Islam di sekitar Kerajaan Binuang. Sementara Tuan Binuang sendiri melanjutkan risalah Islam di Negeri Balanipa dan sekitarnya.
        Secara formal, pengembangan Islam di tanah Mandar dimulai dari negeri Binuang pada awal abad 17 dengan dua macam pengembangan. Pertama, Syekh Abdurrahman Kamaluddin atau To Salama di Binuang menyiarkan agama Islam di Binuang kemudian menyebarkan ke daerah sekitarnya seperti Allu, Palili serta sebagian besar Banggae.
        Sekitar tahun itu pula, Beliau mendirikan Pesantren dan Masjid sebagai Pusat Pendidikan Agama Islam di sebuah Pulau yang disebut Tangnga-Tangnga. Ketika itu, beliau mengumpulkan sebanyak 40 pemuda dari kalangan muridnya untuk dididik khusus.
        Menurut Sejarah, Raja Balanipa yang pertama kali memeluk Islam adalah daetta Kanna I Pattang atau biasa disebut dengan Daetta Tommuane.
        Dengan masuknya daetta I Kanna Pattang, maka serentak seluruh rakyat Balanipa juga ikut menyatakan ke-Islaman mereka.
        Kedua, agama Islam datang dari Kalimantan dan menuju ke Sendana dan Pamboang. Risalah Islam ketika itu dibawa oleh ‘Ikapuang Jawa’ yang kemudian dikenal dengan nama Raden Mas Arya Suriodilogo, lalu muncul Sayyid Zakariah Al Magriby membantu dan sama menyiarkan Islam di negeri Pamboang.
        Raja Pamboang atau Maraqdia Pamboang yang pertama memeluk agama Islam adalah Tomatindo di bo’di. Sedangkan di negeri Banggae, Maraqdia Tondo atau Tomatindo di Masigi merupakan Raja pertama kali menganut Islam. Penyebarnya yaitu Syekh Abdul Mannan yang di gelar ‘Tuan di Salabose’.
Di pitu Ulunna salu, penganjur Islam bernama Tuan di Bulo-Bulo. Indo Kadanene yang pertama kali masuk Islam ialah Todilamung Sallan. Ke-Islaman Indi Kadanene ini kemudian diikuti oleh Indo Lembang, Tomakaka Mambi serta Maraqdia matangnga. Sedangkan di Campalagian atau Tomadio, penganjurnya Tomatindo di Dara’na sendiri, penyebarnya bernama tuan di tanase.
WAFATNYA TUAN DI BINUANG
Setelah kurang lebih 40 tahun menyebarkan agama Islam di Balanipa dan Binuang, Tuan di Binuang akhirnya memutuskan untuk beristirahat di Negeri istrinya di Binuang. Akan tetapi keinginannya untuk menyebarkan agama Islam tidak terputus begitu saja, sebab jika ada daerah yang menbutuhkannya, beliau akan selalu siap membantu. Setelah 5 yahun beristirahat di Binuang tepatnya di Pananian, akhirnya beliau pun dipanggil menghadap ke hadirat Ilahi.
Konon, sewaktu keranda Jenazah beliau hendak diusung menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir, orang-orang yang akan mengusung keranda Jenazah tersebut tidak dapat mengangkatnya, jangankan terangkat goyangpun tidak.
Orang-orangpun menjadi bingung, tak tahu mesti berbuat apa agar keranda jenazah beliau bias diangkat. Tiba-tiba seseorang diantara mereka berkata, “saya baru ingat, kalau beliau pernah berwasiat, dan wasiat itu harus disampaikan ke khalayak umum. Wasiatnya seprti ini, ‘jika besok atau lusa saya tutp usia, tempatkan saya di salah satu pulau di Binuang ini,’.
Setelah mengucapkan wasiat tersebut, keranda jenazah beliau dengan sendirinya berjalan ke tepi pantai. Setelah sampai di tepi pantai, keranda itu kemudian meluncur menuju ke sebuah pulau yang dikenal sebagai ‘Pulo Karamasang’. Akan tetapi keranda Jenazah beliau tersangkut di sela-sela cabang pohon Bakau.
Rombongan pengantar Jenazah yang sedari tadi ‘mengejar’ keranda jenazah beliau ini kemudian berusaha mengeluarkan dari jebakan cabang pohon bakau, namun seperti kejadian semula, keranda jenazah beliau kembali tidak bisa digoyang walau sekuat apapun tenaga mereka. Karena hari menjelang malam. Rombongan terpaksa pulang ke kampung masing-masing.
Beberapa hari kemudian mulai tersebar berita mengenai beberapa keanehan Pulau Karamasang. Perahu yang dipakai nelayan atau para pedagang yang melewati Pulau Karamasang ini seakan-akan hanya berputar-putar. Malah dari mereka ada yang hanya melihat daratan di sekelilingnya.
Kurang lebih setahun sejak wafatnya Tuan di Binuang, masyarakat setempat sudah tidak pernah lagi melihat keranda jenazah beliau. Ada yang menduga bahwa mungkin peti itu terjatuh akibat terpaan angin dan terbawa oleh arus laut.
Menurut keterangan Imam Pulau Tangnga, Yusuf Tikadang, bahwa dari cerita rakyat secara turun temurun, ketika itu arus kotoran dari Binuang selalu menuju ke Pulau Karamasang dan menyentuh pohon bakau tempat dimana keranda jenazah tuan binuang pernah tersangkut.
Kemudian setelah itu seorang pencari kayu bakar menemukan sebuah keranda jenazah yang diyakini sebagai keranda jenazah tuan di binuang di atas bukit kecil. Pernah juga ada salah satu warga yang bermimpi, bahwa keranda jenazah yang ditemukan oleh pencari kayu itu merupakan pindahan dari pohon bakau di Pulo Karamasang. Dengan demikian masyarakat Binuang semakin mempercayai cerita ini.
Konon beberapa bulan kemudian, keranda jenazah tersebut menghilang dari Pulo Karamasang, akan tetapi pada saat bersamaan muncul sebuah batu nisan yang diyakini sebagai nisan Tuan di Binuang.
Sampai saat ini, nisan yang telah menjadi makam tersebut masih dipelihara baik oleh masyarakat yang bermukim di Pulo Tangnga-Tangnga bahkan pengunjungnya atau peziarahnya selalu ramai setiap saat.
Demikianlah akhir dari hikayat To Salama di Binuang, kisah tentang seorang ulama besar kharismatik pada zamannya ini akan selalu abadi di dalam sanubari masyarakat Mandar.
Wallahu A’lam Bis shawab
Read More..

EKSPEDISI INDO RANNUANG

Setelah sukses dalam Ekspedisi Limbong Kamandang di Desa Kurra, Kecamatan Tapango pada tanggal 16 Desember 2010 saya kembali menantang teman-teman di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Polewali Mandar untuk melakukan ekspedisi selanjutnya. Kali ini saya menetapkan target yakni Air terjun Indo Rannuang yang terletak di Desa Kunyi Kecamatan Areapi.
Setelah target ditentukan, kamipun mulai mengumpulkan informasi tentang kondisi Objek daya tarik Wisata ini. Beberapa informasi yang berhasil dihimpun tersebut kemudian diantisipasi dengan menyiapkan keperlua-keperluan yang dapat digunakan untuk mengantisipasi dan masalah yang mungkin terjadi dalam ekspedisi kali ini.
Saya mencoba menghubungi Kepala Desa Kunyi via Telepon Celluler yang kemudian disambut baik. Dalam pikiran saya respon Kepala desa ini sudah lebih dari cukup untuk melakukan ekspedisi yang dijadwalkan akan kami lakukan pada hari Sabtu, 25 Desember 2010.
Ketika gagasan ini saya sampaikan kepada seluruh Staf Disbudpar Polewali Mandar, sontak disambut dengan semangat yang luar biasa. Tak ketinggalan saya membujuk istri saya untuk bisa menyertai petualangan ini.
Tepat pukul 09.00 Sabtu 25 Desember 2010 rombongan yang terdiri dari 23 orang bergerak meninggalkan Kantor Dinas Kebudayaan dan pariwisata Kabupaten Polewali Mandar. Beberapa di antara anggota Tim tak kuasa menyembunyikan kegembiraan dan semangatnya. Tak sedikitpun tergambar tentang kemungkinan masalah yang bisa saja terjadi dalam ekspedisi kali ini.
Dengan mobil Dinas yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan, saya terus menyemangati beberapa orang anggota Tim yang nyalinya sudah mulai ciut, menyaksikan jalan berkelok dan cukup licin yang salah satu sisinya terdapat jurang terjal. Meskipun demikian dari ketinggian pegunungan saya mulai menikmati keindahan kota Polewali yang nampak dari jauh. Tiba roda belakang sebelah kanan mobil yang saya kendarai kempis. Kurang lebih 15 menit anggota tim dengan sigap mengganti roda mobil dan perjalananpun dilanjutkan dengan memutar arah, karena menurut informasi dari penduduk setempat ada jalan yang jaraknya lebih dekat, meskipun harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar satu kilometer.
Perjalanan pun selanjutnya ditempuh dengan berjalan kaki. Beberapa di antara anggota tim bernyanyi sambil berjalan diantara pepohonan kakao. Di beberapa tempat saya menemukan rotan yang baru saja diambil dari hutan sekitar lokasi tersebut.
Ketika jalan mulai menanjak, beberapa orang mulai kendor semangatnya terutama perempuan, termasuk istri saya. Sebagai ketua Tim saya terus berupaya menyemangati mereka dengan  semangat untuk terus berusaha mencapai tujuan. Bahwa perjuangan itu sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada di depan mata. Tapi kondisi jalan setapak yang semakin menanjak, membuat beberapa anggota tim mulai frustasi. Akhirnya dua orang anggota Tim tak dapat meneruskan perjalan dan memilih kembali ke pos tempat kami beristirahat pertama kali.
Dengan sisa-sisa semangat yang kami miliki, akhirnya kami tiba di lokasi Air Terjun (Curug) Indo Rannuang yang cukup menawan hati. Menurut penjelasan Kepala Desa Kunyi yang mendampingi ekspedisi ini bahwa Air terjun ini terdiri dari beberapa tingkatan, mulai dari ketinggian sekitar 100 meter hingga 40 meter. Saya hanya bisa memandangi anggota tim yang segera hanyut dalam kemanjaan alam yang eksotis.
Read More..